Saya melihat pangkal persoalan ada di lembaga pendidikan kita. Sejak awal, kita selalu diajarkan untuk takut melakukan kesalahan. Kita tak belajar untuk menulis secara lepas. Kita tak dibiasakan untuk menulis catatan harian. Di sekolah-sekolah, menulis diajarkan sebagai tugas yang lalu diberi penilaian benar dan salah. Menulis dilatih dengan rumus-rumus yang ketat sehingga melahirkan kekhawatiran kalau-kalau bertindak tidak sesuai dengan aturan kepenulisan.
Harusnya, menulis dikembalikan pada kodratnya sebagai medium atau cara untuk menyampaikan gagasan. Yang dinilai bukan soal bagus-tidaknya, atau benar-salahnya, melainkan sejauh mana pesan yang disampaikan bisa diterima publik. Kalau publik bisa memahami pesannya, maka tujuan sang penulis telah tercapai. Kalau tulisan itu bisa menggerakkan orang lain, maka sang penulis layak mendapat acungan jempol. That's it.
Tentu saja, untuk bisa menembus media massa dan jurnal-jurnal ilmiah, ada tata cara yang harus dipatuhi. Namun, persyaratan itu akan mudah dipenuhi kalau seseorang punya passion kuat untuk menulis dan berbagi. Inilah yang harus ditemukan oleh siapapun yang hendak meniti di jalan aksara.
Makanya, kelas-kelas kepenulisan harusnya diisi dengan bagaimana menumbuhkan passion kuat untuk berbagi pengalaman melalui tulisan. Yang ditekankan bukanlah bagaimana membuat tulisan yang benar, melainkan bagaimana memberanikan diri untuk menulis sesuatu, serta membuka pikiran untuk selalu belajar, lalu membiasakan diri untuk selalu produktif.
Latihan Menulis
Di Ambon, saya menjadi fasilitator kelas menulis. Dikarenakan para peserta telah memiliki pengetahuan tentang dunia menulis, yang harus disentuh adalah kesadaran mengapa seseorang bersedia menulis. Hasrat menulisnya mesti dibangkitkan dengan cara berbagi pengalaman, ataupun mengambil sebanyak mungkin contoh tentang mereka yang menjadikan kepenulisan sebagai ladang untuk berbagi.
Jika kelas menulis diibaratkan sebagai kelas untuk menyerap dan melepas energi, maka semua semangat dan hasrat para peserta adalah nutrisi yang akan melancarkan semua materi pelatihan sekaligus menguatkan semua orang.
[caption id="attachment_407980" align="aligncenter" width="600" caption="peserta pelatihan"]
Materi haruslah disusun secara fleksibel, sesuai dengan kebutuhan dan keinginan peserta. Masing-masing peserta adalah guru yang bisa memberikan masukan konstruktif pada rekannya, sesama pembelajar di ranah kepenulisan. Harapannya adalah semua peserta bisa menulis secara lepas, dan membuang jauh semua beban-beban yang menggelayut di pundak.
Ada tiga hal yang menjadi patokan. Pertama, menulislah secara bebas. Tak usah peduli dengan berbagai rumus dan tata bahasa. Setiap orang punya kisah ataupun gagasan yang layak untuk dibagikan. Tak semua orang ditakdirkan untuk menjadi penulis besar ataupun menjadi sosok hebat dalam menulis. Makanya, tak perlu ada jurus yang sama dalam menulis. Semua orang bisa menemukan jalan kepenulsian sendiri-sendiri yang paling membuatnya nyaman.
Kedua, jadikan menulis sebagai proses yang bertumbuh. Pada hari ini kita menulis gagasan A, yang lalu akan tumbuh melalui nutrisi masukan serta koreksi dari orang lain. Kita akan menyianginya dari semua kritik dan cacian sehingga terus melesat tumbuh besar. Pada akhirnya, kita akan memanen buah dari proses tersebut. Minimal kita mendapatkan