Dunia orang Bajo memang penuh dengan pamali. Sebagai suku laut yang terbiasa menjelajah dan berpindah-pindah, mereka mengenal banyak pamali yang hingga kini diwariskan kepada generasi yang lebih muda. Di antara pamali tersebut adalah larangan membuang sampah di laut, seperti kulit jeruk nipis, sisa-sisa bumbu, dan sampah lainnya. Bahkan orang Bajo pun dilarang untuk meludah di laut atau menangkap ikan yang masih kecil. Jika pantangan itu dilanggar, maka kampung mereka akan dilanda bencana.
[caption id="attachment_313255" align="aligncenter" width="320" caption="suasana perkampungan (foto: Bayu Saputra)"]
Sepulang dari ikut berlayar bersama lelaki itu, aku lalu bertemu seorang sahabat yang bekerja sebagai peneliti di satu lembaga internasional. Ketika kuceritakan kisah tentang setan-setan di perairan Wakatobi, sahabat itu langsung tersenyum. Ia mengajakku ke dalam ruang tamu tempatnya berkantor di Pulau Wanci. Ia lalu menghamparkan peta Wanci yang lebih detail. Ia memintaku menunjuk lokasi-lokasi yang disebut nakhoda Bajo itu sebagai lokasi tempat setan bersemayam.
Sahabat itu membuatku tercengang. Ternyata pada lokasi yang disebut tempat setan itu tinggal, terdapat karang-karang besar yang bisa membahayakan keselamatan pelayaran. Jika saja saat itu kami memaksakan kapal untuk melintas, maka pastilah kapal kami akan karam. Jika saja para anak buah kapal tak mendengarkan apa kata nakhoda, maka pastilah kapal kami sudah lama menghantam karang, dan boleh jadi, kami semua tinggal nama.
Nakhoda Bajo itu membuatku terkagum-kagum. Tak hanya diriku, sejumlah turis asal Australia yang singgah ke Wakatobi mengungkapkan keheranannya saat mengetahui bahwa tak ada satu pun alat modern di kapal yang dikemudikan nakhoda Bajo tersebut. Tanpa perangkat seperti Kompas atau Global Positioning System (GPS), nakhoda bisa menentukan arah hanya dengan mengamati lautan, angin, ketebalan awan, bintang-gemintang, hingga posisi burung.
Nakhoda suku Bajo itu membuatku merenung tentang indahnya kearifan lokal. Bahwa melalui pengetahuan yang diwariskan secara turun-temurun, orang Bajo bisa mengenali lautan, serta mengenali tempat-tempat yang tak boleh dijamah. Memang, mereka tak punya penjelasan ilmiah tentang karang-karang yang bisa merobek lambung kapal, tapi melalui pengetahuan lokal, mereka bisa mengenali semua petaka serta bagaimana menghindarinya.
Pantas saja jika mereka melarang untuk membuang sampah di laut, serta ada larangan menangkap ikan kecil. Pamali itu mengandung satu hidden rationality yakni rasionalitas tersembunyi yang memberikan panduan untuk menjaga kelestarian lingkungan, serta memberikan kesempatan pada alam untuk memperbaharui dirinya. Pengetahuan lokal itu menjadi kompas yang memandu perjalanan mereka, sekaligus menempatkan Suku Bajo sebagai suku yang paling memahami lautan di Nusantara. Mereka tak hendak menaklukkan lautan, namun mereka hidup mengalir bersama lautan dengan segala kisah dan mitos yang bersemayam di baliknya.(*)
BACA JUGA:
Kisah Perenang Koin di Pelabuhan Baubau
Melihat Perahu Bugis di Amerika
De Maccasare Zee Rovers, Bajak Laut Makassar