[caption id="attachment_313252" align="aligncenter" width="576" caption="perkampungan Suku Bajo di Wakatobi (foto: indovasi.or.id)"][/caption]
DI balik kisah tentang keindahan bawah laut Wakatobi yang tersohor, terdapat kisah-kisah tentang manusia-manusia laut yang berkarib dengan laut. Mereka tak hanya piawai memahami bahasa laut dan samudera, namun juga berkawan dengan setan-setan laut yang seringkali membisikkan pesan-pesan untuk menjaga lingkungan. Mereka adalah warga suku Bajo yang berumah di atas laut.
***
DI tepi Laut Buton, Baubau, lelaki itu berdiri sambil menatap lurus. Ia memandang kapal kecil dengan layar yang tergulung rapi di ujung sana. Tiba-tiba ia melambaikan tangan ke arah kapal itu. Tak lama kemudian, sebuah koli-koli atau perahu kecil meluncur mendekati lelaki tua itu. Ketika perahu mendekat, lelaki itu dengan sigap meloncat ke perahu dan bergegas menuju kapal.
"Dia nakhoda paling disegani di sini. Dia dari suku Bajo Mola," kata seorang sahabat yang memperhatikanku sedang menatap lelaki itu. Selama beberapa hari, aku memang sering memperhatikan lelaki tua legam yang janggutnya memutih itu. Hampir semua pelaut dan nelayan di pesisir Buton segan dengannya. Ia menjadi tempat bertanya tentang banyak hal. Mulai dari kapan hari baik untuk melempar jala, hingga kapan ombak akan mengaduk samudera. Lelaki itu tak pernah pelit menyimpan ilmu.
Suku Bajo Mola berumah di pesisir Pulau Wanci, yang kini menjadi ibukota Wakatobi. Beberapa waktu lalu, saat berkunjung ke pulau ini, aku menyaksikan perkampungan Bajo Mola yang sudah mengalami modernisasi. Meski tetap berumah di atas laut, warga suku Bajo mulai membangun tembok untuk dinding rumah. Rumah mereka sudah agak modern. Tapi warga suku Bajo masih saja melakukan banyak ritual-ritual yang bercirikan animisme. Mereka beberapa kali melepas sesajen ke laut sebagai simbol sedang memberi makan lautan dan seluruh penghuninya.
[caption id="attachment_313253" align="aligncenter" width="576" caption="seusai mengambil air tawar (foto: Bayu Saputra)"]
Menurut beberapa peneliti, Suku Bajo berasal dari Laut Cina Selatan. Ada pula yang mengatakan bahwa leluhur mereka berasal dari Johor, Malaysia, atau keturunan Suku Sameng di Malaka yang pernah diperintahkan raja untuk mencari putrinya. Mereka lalu mengarungi lautan hingga ke perairan Sulawesi. Konon, sang putri menikah dengan pangeran Bugis yang tinggal pada wilayah bernama BajoE. Mereka enggan balik ke Malaysia dan memilih tinggal di perahunya. Sejak abad ke-16, mereka digolongkan sebagai suku laut nomaden, atau sering pula disebut manusia perahu (seanomad). Namun kini, mereka tinggal di dekat pulau, pada rumah yang didirikan di atas lautan.
Pertemuan dengan nakhoda Bajo itu menggoreskan kesan mendalam. Suatu hari, aku mengikuti perjalanan lelaki itu di sekitar Pulau Wanci, yang kini menjadi ibukota Wakatobi. Kapal kecil yang kami tumpangi beberapa kali hendak menabak karang. Di tepi pulau-pulau kecil, seorang nakhoda mesti sigap. Maklumlah, tak banyak mercusuar yang dibangun sebagai panduan bagi nelayan. Tapi lelaki itu tetap tenang. Ketika melintasi satu kawasan, ia lalu meminta agar kapal menjauh. Walaupun awak kapal memprotes sebab kawasan itu adalah jalan pintas, ia tetap kukuh. Ia hanya berkata singkat dalam bahasa Bajo, "Di situ ada setan-setan."
Sebagai penumpang, aku terheran-heran. Mengapa pula harus menghindari jalan pintas, hanya karena hantu? Aku menganggap setan dan hantu itu hanyalah mitos. Di zaman ketika manusia menggunakan rasio sebagai penuntun akal dan pengetahuan, kata setan lebih pada kata untuk menakut-nakuti anak kecil. Namun di kampung Bajo, setan dan hantu dianggap sebagai sesuatu yang eksis dan menempati satu kawasan. Para hantu itu punya ruang sendiri, seringkali mengalami kontak dengan masyarakat Bajo, yang memiliki banyak pantangan atau pamali, agar tidak mengganggu eksistensi mereka.
Ketika aku menanyakannya, nakhoda Bajo yang sudah kenyang asam garam dunia pelayaran itu hanya tersenyum. Ia lalu menjelaskan bahwa ketika setan diganggu, maka malapetaka akan datang. Kapal bisa bocor lalu karam. Setan bisa pula menyebabkan banjir bandang yang kemudian menghancurkan perkampungan. "Kalian orang muda yang sekolah pasti akan sulit percaya. Tapi kita orang Bajo percaya kalau melanggar pantangan, maka pasti ada bahaya," kata lelaki tua itu.