Mohon tunggu...
Yusran Darmawan
Yusran Darmawan Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Tinggal di Pulau Buton. Belajar di Unhas, UI, dan Ohio University. Blog: www.timur-angin.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Berkat Kompasiana, Aku Jadi Editor Buku Jusuf Kalla

9 Januari 2014   07:44 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:00 1188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_314738" align="aligncenter" width="576" caption="buku Inspirasi JK yang kueditori telah diterbitkan oleh Noura (Mizan)"][/caption]

TAK disangka, rajin menulis di ranah blog Kompasiana bisa membuka banyak peluang. Setelah sebelumnya aku memenangkan beasiswa ke luar negeri berkat konsistensi menulis, dua bulan lalu aku mendapatkan satu anugerah baru. Aku diminta menjadi editor pada buku yang ditulis oleh mantan Wapres Jusuf Kalla (JK). Hari ini, aku akhirnya bisa menimang buku itu. Lebih bahagia lagi ketika menemukan namaku tercantum sebagai editor buku atas sosok yang pernah jadi aktor kunci atas banyak kejadian di negeri ini.

***

SEMUANYA dimulai dari email sebuah penerbit besar. Dua bulan silam, aku terkejut ketika mendapati email yang isinya adalah permintaan untuk menjadi editor sebuah buku yang ditulis JK. Artikel itu dipilih dari tulisan JK, serta bahan ceramah ataupun kesaksian JK atas berbagai peristiwa semasa dirinya menjadi wapres.

Mulanya aku ingin menolak. Maklumlah, aku bukanlah seorang editor profesional. Pengalamanku adalah mengedit beberapa buku lokal di Pulau Buton, tempatku berdomisili. Pernah pula aku mengedit buletin yang diterbitkan satu lembaga sosial. Aku merasa tak siap untuk langsung diposisikan setara dengan editor senior pada satu penerbit ternama di tanah air. Aku membayangkan standar serta kecermatan yang tinggi sebagai editor profesional.

Namun pihak penerbit itu meyakinkanku untuk mencoba kesempatan itu. Tadinya aku hendak menolak. Namun penerbit itu tak sedikitpun meragukan kemampuan mengeditku, sebab telah membaca hampir 200 artikel yang kutuliskan di ranah dunia maya. Mereka mengikuti gagasan demi gagasan yang pernah kubuat. Malah, mereka tahu hal-hal yang sifatnya pribadi, termasuk hari-hariku bersama keluarga. Mereka percaya bahwa aku adalah orang yang sangat layak untuk mengedit buku yang ditulis oleh seorang mantan wapres.

Yang membuatku kian bersemangat adalah penerbit itu juga menjanjikan imbalan materi yang cukup besar atas pekerjaan mengedit tersebut. Makanya, aku langsung mengiyakan. Aku menerima tantangan mereka untuk menjadi editor profesional. Setidaknya, tantangan itu bisa membuatku belajar banyak pada satu penerbit besar tanah air. Demi proses belajar itu, aku bersedia menerima risiko akan gagal, dianggap tak cukup punya visi atas buku yang akan terbit, serta atau dicap tidak mampu menjadi editor.

[caption id="attachment_314743" align="aligncenter" width="576" caption="mantan Wapres Jusuf Kalla pada satu kesempatan (foto: salam-online.com)"]

13892276831995102617
13892276831995102617
[/caption]

Tantangan itu sukses menaikkan adrenalin kerja keras. Meskipun awam pada dunia mengedit buku, aku berusaha untuk mempelajari kecakapan editorial. Bahwa yang terpenting adalah seorang editor mesti memiliki visi tentang buku yang akan diterbitkan, memahami kekuatan dan kelemahan setiap teks yang tengah digelutinya, serta sanggup untuk mengemas sesuatu menjadi lebih baik, lebih bertenaga, dan lebih menggerakkan. Seorang editor yang baik tak hanya merapikan kata demi kata. Ia harus bisa melihat sesuatu yang melampaui teks buku.

Hingga akhirnya, penerbit lalu mengirimkan semua naskah JK yang akan diedit. Aku lalu membenahi kata demi kata, menjahitnya dalam satu benang merah gagasan, lalu membentangkannya sebagai satu hamparan ide-ide yang renyah dan nikmat untuk dibaca. Aku memberikan koreksi editorial, serta masukan-masukan yang sekiranya bisa membuat tulisan-tulisan itu lebih menarik untuk dibaca.

Ternyata, tulisan-tulisan JK yang akan diterbitkan adalah tulisan-tulisan yang sebelumnya diposting di Kompasiana. Sepengetahuanku, JK adalah salah satu penulis yang cukup produktif, baik saat menjelang pemilihan umum (pemilu), maupun sesudahnya. Berbeda dengan politisi lain, JK tidak menulis sesuatu yang akademis. Ia menulis artikel dengan gaya khasnya yang santai, penuh canda, serta penuh substasi yang berguna bagi bangsa.

Proses mengedit ini menjadi proses pembelajaran yang amat penting bagiku. Aku belajar untuk berempati serta memahami inside stories atas beberapa kejadian penting negeri ini dari seorang yang duduk di kursi wakil presiden. Meskipun ada beberapa artikel yang tak kusetujui idenya, tetap saja aku larut dalam beberapa artikel-artikel bagus tentang dinamika di istana negara, serta situasi ketika JK memilih kebijakan yang tidak populer. Ia menjelaskan alasan rasional di balik setiap kebijakan, sesuatu yang sangat berharga bagi siapapun yang tertarik mengkaji dinamika politik.

Lewat proses mengedit buku, aku belajar satu hal penting, bahwa semua  pengalaman seseorang akan menjadi kuas yang akan mewarnai kanvas kehidupannya. Aku akhirnya paham tentang betapa pentingnya mempelajari latar belakang serta pengalaman satu tokoh sejarah. Bahwa di balik setiap gagasan yang kemudian mengubah sejarah, terselip kisah-kisah tentang individu yang selalu dipengaruhi oleh konteks dan latar pengalaman. Sejarawan dan peneliti yang baik mesti memahami dengan baik interaksi bolak-balik antara agency dan struktur atas setiap peristiwa sejarah.

***

HARI ini, aku menimang buku yang kuedit dua bulan silam. Penerbit menepati janjinya untuk mengirimkan buku, serta membayar honor editor. Ada rasa bahagia yang berdesir ketika melihat namaku tertera di dalam buku, meskipun ditulis kecil di halaman dalam. Aku tiba-tiba saja mengamini pendapat seorang kawan tentang definisi kebahagiaan. Katanya, bahagia adalah saat-saat ketika kamu menemukan namamu tercetak pada sebuah buku yang kemudian dipajang di satu toko buku. Rasa bahagia itu akan berlipat-lipat ketika orang-orang membaca dan mengapresiasi buku tersebut. Entah, apakah buku itu akan disukai banyak orang ataukah tidak, yang pasti kerja kerasku sebagai editor telah ditunaikan ketika penerbit merasa puas atas apa yang sudah dihasilkan.

[caption id="attachment_314744" align="aligncenter" width="576" caption="bersama kompasianer yang ikut tur ke Phuket"]

1389227911651529265
1389227911651529265
[/caption]

[caption id="attachment_314746" align="aligncenter" width="576" caption="bukuku yang diterbitkan Mizan dan akan beredar minggu depan"]

13892279821755686676
13892279821755686676
[/caption]

Aku lalu merenungi makna menulis di Kompasiana. Ada banyak tipe penulis di ranah ini. Ada yang menjadikan dunia maya sebagai tempat melepaskan energi negatif, ajang curhat, atau ajang memaki keyakinan orang lain. Ada pula orang yang memindahkan kliping koran ke dalam tulisannya. Banyak pula penulis yang menjadikan Kompasiana sebagai arena untuk kampanye politik atas seorang tokoh politik. Malah, aku mendengar tentang penulis yang mengincar popularitas.

Namun selalu saja ada ruang positif bagi mereka yang hendak menjadikan ruang maya sebagai tempat untuk berbagi gagasan-gagasan yang kemudian diterbangkan kupu-kupu digital ke segenap penjuru. Gagasan itu akan menyapa orang lain, menginspirasi, dan mencari kaki-kakinya untuk bergerak. Ternyata, gagasan di ruang ini tidaklah statis, melainkan selalu dinamis dan bergerak secara kilat untuk menyapa orang lain.

Apa yang kita tulis akan menjadi citra diri kita yang kemudian terdistribusi secara cepat. Mereka yang menulis dari latar hati yang bening pastilah akan mengetuk orang lain di ruang yang jauh sana. Pada titik ini, ruang maya akan menjadi ruang untuk terus berproses dan menyempurna. Ia tidak lagi sebagai ajang melepas gelisah, namun menjadi sesuatu yang positif. Mereka-mereka yang mengasah diri pastilah akan mendapatkan apresiasi. Melalui menulis dan interaksi, ada banyak hikmah-hikmah positif yang akan datang menyapa. Aku mengalaminya ketika satu penerbit memintaku untuk menjadi editor.

Hari ini kudapatkan satu pelajaran penting kehidupan. Bahwa menulis dengan niat positif pastilah akan mendapatkan manfaat. Niat itu bisa mendatangkan materi sebagai bentuk apresiasi atas profesionalitas. Namun jika kurenungi lebih jauh, materi itu bukanlah tujuan utama. Materi itu hanyalah efek atau konsekuensi dari niat untuk selalu menebar inspirasi. Yang terpenting adalah menulis bisa menajamkan pikiran, melembutkan hati untuk selalu berbagi pengetahuan, serta memperkaya batin dan perjalanan hidup seseorang. Itulah materi yang tak ternilai.

BACA JUGA:

Berkat Kompasiana, Aku Menggapai Amerika

Kuliah di Amerika, Magang di Kompasiana

Bahasa Inggris Hancur, Lulus Cumlaude di Amerika

Hantu-Hantu Laut di Wakatobi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun