Proses mengedit ini menjadi proses pembelajaran yang amat penting bagiku. Aku belajar untuk berempati serta memahami inside stories atas beberapa kejadian penting negeri ini dari seorang yang duduk di kursi wakil presiden. Meskipun ada beberapa artikel yang tak kusetujui idenya, tetap saja aku larut dalam beberapa artikel-artikel bagus tentang dinamika di istana negara, serta situasi ketika JK memilih kebijakan yang tidak populer. Ia menjelaskan alasan rasional di balik setiap kebijakan, sesuatu yang sangat berharga bagi siapapun yang tertarik mengkaji dinamika politik.
Lewat proses mengedit buku, aku belajar satu hal penting, bahwa semua  pengalaman seseorang akan menjadi kuas yang akan mewarnai kanvas kehidupannya. Aku akhirnya paham tentang betapa pentingnya mempelajari latar belakang serta pengalaman satu tokoh sejarah. Bahwa di balik setiap gagasan yang kemudian mengubah sejarah, terselip kisah-kisah tentang individu yang selalu dipengaruhi oleh konteks dan latar pengalaman. Sejarawan dan peneliti yang baik mesti memahami dengan baik interaksi bolak-balik antara agency dan struktur atas setiap peristiwa sejarah.
***
HARI ini, aku menimang buku yang kuedit dua bulan silam. Penerbit menepati janjinya untuk mengirimkan buku, serta membayar honor editor. Ada rasa bahagia yang berdesir ketika melihat namaku tertera di dalam buku, meskipun ditulis kecil di halaman dalam. Aku tiba-tiba saja mengamini pendapat seorang kawan tentang definisi kebahagiaan. Katanya, bahagia adalah saat-saat ketika kamu menemukan namamu tercetak pada sebuah buku yang kemudian dipajang di satu toko buku. Rasa bahagia itu akan berlipat-lipat ketika orang-orang membaca dan mengapresiasi buku tersebut. Entah, apakah buku itu akan disukai banyak orang ataukah tidak, yang pasti kerja kerasku sebagai editor telah ditunaikan ketika penerbit merasa puas atas apa yang sudah dihasilkan.
[caption id="attachment_314744" align="aligncenter" width="576" caption="bersama kompasianer yang ikut tur ke Phuket"]
[caption id="attachment_314746" align="aligncenter" width="576" caption="bukuku yang diterbitkan Mizan dan akan beredar minggu depan"]
Aku lalu merenungi makna menulis di Kompasiana. Ada banyak tipe penulis di ranah ini. Ada yang menjadikan dunia maya sebagai tempat melepaskan energi negatif, ajang curhat, atau ajang memaki keyakinan orang lain. Ada pula orang yang memindahkan kliping koran ke dalam tulisannya. Banyak pula penulis yang menjadikan Kompasiana sebagai arena untuk kampanye politik atas seorang tokoh politik. Malah, aku mendengar tentang penulis yang mengincar popularitas.
Namun selalu saja ada ruang positif bagi mereka yang hendak menjadikan ruang maya sebagai tempat untuk berbagi gagasan-gagasan yang kemudian diterbangkan kupu-kupu digital ke segenap penjuru. Gagasan itu akan menyapa orang lain, menginspirasi, dan mencari kaki-kakinya untuk bergerak. Ternyata, gagasan di ruang ini tidaklah statis, melainkan selalu dinamis dan bergerak secara kilat untuk menyapa orang lain.
Apa yang kita tulis akan menjadi citra diri kita yang kemudian terdistribusi secara cepat. Mereka yang menulis dari latar hati yang bening pastilah akan mengetuk orang lain di ruang yang jauh sana. Pada titik ini, ruang maya akan menjadi ruang untuk terus berproses dan menyempurna. Ia tidak lagi sebagai ajang melepas gelisah, namun menjadi sesuatu yang positif. Mereka-mereka yang mengasah diri pastilah akan mendapatkan apresiasi. Melalui menulis dan interaksi, ada banyak hikmah-hikmah positif yang akan datang menyapa. Aku mengalaminya ketika satu penerbit memintaku untuk menjadi editor.
Hari ini kudapatkan satu pelajaran penting kehidupan. Bahwa menulis dengan niat positif pastilah akan mendapatkan manfaat. Niat itu bisa mendatangkan materi sebagai bentuk apresiasi atas profesionalitas. Namun jika kurenungi lebih jauh, materi itu bukanlah tujuan utama. Materi itu hanyalah efek atau konsekuensi dari niat untuk selalu menebar inspirasi. Yang terpenting adalah menulis bisa menajamkan pikiran, melembutkan hati untuk selalu berbagi pengetahuan, serta memperkaya batin dan perjalanan hidup seseorang. Itulah materi yang tak ternilai.
BACA JUGA: