Harian USA Today mencatat bahwa ketika pertanyaan ini diajukan ke banyak orang yang mengenal Adam, maka jawabannya justru mengejutkan. Adam Lanza adalah seorang pemuda yang dikenal jenius, pendiam, serta tidak punya catatan buruk di kepolisian. Ia seorang anak yang normal, sebagaimana teman-temannya.
Adam pindah ke Connecticut setelah sebelumnya tinggal di Kingston, New Hampshire. Menurut pihak sekolah, ia menggemari sepakbola, skateboard, dan video games. Pada bulan September 2009, ketika ia berusia 17 tahun, ayah dan ibunya bercerai. Ia tak paham mengapa kedua orang tuanya bercerai. Yang pasti, ayahnya menikah lagi dan tinggal tak jauh dari kota tempat Adam tinggal.
Kasus ini mengingatkan saya pada tulisan James Allan Fox dari Northeastern University. Menurutnya, kasus-kasus pembunuhan massal disebabkan oleh seseorang yang frustasi atas keadaan, kemudian mengalami rasa kecewa atas kehidupan, perasaan terisolasi atau tersingkir dari keluarga, sehingga melahirkan perasaan yang menganggap diri tidak beruntung atau diperlakukan tidak adil.
Berkaca pada pernyataan Fox, di Amerika, terdapat ribuan orang yang merasakan ketidakadilan serta harapan yang terlalu besar dari dunia sosial. Anak-anak muda diwajibkan menggapai ambisi tertentu, sehingga terjebak dalam perjuangan menggapai mimpi-mimpi yang dtanamkan sejak kecil. Anak-anak muda itu lalu menyalahkan sistem yang tak adil, keluarga, atau masyarakat yang tak banyak mendukung mereka.
Dalam kasus Adam Lanza, saya menduga bahwa lenyapnya kehangatan keluarga menjadi benih bagi sikap frustasi serta keinginan untuk berbuat terror bagi sesama. Ia tak banyak merasakan siraman cinta sehingga kehidupan menjadi arena kompetisi yang harus dimenangkan. Ia kehilangan esensi kehidupan sebagai arena untuk menyandarkan cinta pada sesama, cinta kepada alam semesta, serta cinta pada Yang Maha Pencipta.
Adam tak sendiri. Banyaknya pembunuhan massal adalah puncak gunung es dari permasalahan sosial yang sesungguhnya mendera manusia modern. Masyarakat dunia terlampau sibuk dan bergulat dalam dilema pencarian kebahagiaan, sebuah titik yang dianggap bisa nyaman sebenar-benarnya, selalu merasa cukup, tanpa diganggu rasa depresi. Masyarakat dunia sering terlalu fokus hendak meggapai standar hidup yang setinggi-tingginya, dan di saat bersamaan sering melupakan tugas bersama untuk menanam tumbuhan cinta di mana-mana. Yup. Cinta. Kedengarannya sepele.
[caption id="attachment_229989" align="aligncenter" width="560" caption="altar pernyataan duka cita di Newtown. Banyak warga Amerika yang menyatakan duka cita atas penembakan di Newtown (foto: Laura Petrecca, USA Today)"]
Namun kolumnis USA Today Addie Sandler mengatakan bahwa cinta adalah aspek esensial yang bisa menjaga semua orang sehingga mencintai komunitasnya. Tanaman cinta memang tak terlihat, namun semerbaknya akan tercium lewat sikap untuk saling menjaga, menyayangi semua orang di sekitar kita, serta menganggap orang lain sebagai bagian dari diri kita yang harus dijaga. Ketika tanaman cinta tumbuh subur di satu komunitas, maka semua orang akan merasa dihargai. Rasa solidaritas akan tumbuh di komunitas. Rasa cinta dan kasih sayang akan menjadi benteng kukuh yang menghapus segala rasa angkuh, maupun rasa rendah diri di komunitas. Semua orang akan merasa penting dan ingin memberikan yang terbaik bagi komunitas, tanpa ada yang tersisih.
Ketika satu masyarakat membutuhkan senjata untuk menjaga diri, maka ini adalah cerminan dari tiadanya cinta dan saling percaya pada sesama. Senjata hanya memberi efek sesaat yang mengatasi rasa takut, namun tidak menyelesaikan persoalan sesungguhnya yakni kenyamanan yang terengggut. Dunia ini butuh cinta, bukannya senjata. Bahkan Adam Lanza pun membutuhkan kehangatan cinta itu.
Athens, Ohio, 16 Desember 2012
BACA JUGA: