Mohon tunggu...
Yusran Darmawan
Yusran Darmawan Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Tinggal di Pulau Buton. Belajar di Unhas, UI, dan Ohio University. Blog: www.timur-angin.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kiat Cerdik Kalahkan Jokowi

21 Maret 2014   17:53 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:39 5777
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_327662" align="aligncenter" width="635" caption="Joko Widodo (foto: http://www.traxonsky.com/)"][/caption]

JIKA panggung kampanye politik kita ibarat arena peperangan, maka para pengeritik Joko Widodo (Jokowi) sedang mempraktikkan strategi yang amat mudah dibaca. Mereka tak sanggup mengenali karakter media sosial, serta di mana letak kekuatan sang capres kerempeng itu. Jika serangan atas Jokowi terus-menerus gencar di media sosial, maka hasilnya bisa ditebak: Jokowi akan menang telak sebelum pertandingan. Tak percaya?

***

LELAKI itu berdiri dan menyaksikan arena pertempuran. Ia memandang dua pasukan yang sedang berhadapan. Ia melihat satu pasukan sibuk melancarkan yel-yel untuk menjelek-jelekkan musuhnya. Pasukan yang satu justru diam, bermain dalam tenang, sembari mengamati gerakan lawan, kemudian setia mengawasi angin.

Lelaki itu adalah Sun Tzu (535 SM), seorang strategi perang. Melihat tingkah kedua pasukan itu, ia dengan mudahnya menebak akhir pertempuran itu. Ia melihat pasukan yang menunggu adalah pasukan yang lebih pandai menempatkan posisi. "Pemenangnya adalah pasukan yang menahan diri dari untuk menyerang musuh yang benderanya berdiri dalam posisi sempurna. Mereka tak benar-benar menunggu. Mereka setia mengawasi, sambil menyiapkan banyak ranjau. Inilah seni mempelajari kondisi. "

Dalam strategi Sun Tzu, pengenalan diri dan pengenalan musuh adalah kunci untuk memenangkan pertempuran. Mereka yang sesumbar akan lebih mudah dikalahkan. "Dia yang menang adalah dia yang mengenal musuh maupun dirinya sendiri. Dia yang tidak mengenal musuh tetapi mengenal dirinya sendiri akan sesekali menang dan sesekali kalah; Dia yang tidak mengenal musuh ataupun dirinya sendiri akan beresiko kalah dalam setiap pertempuran."

Panggung kampanye politik Indonesia laksana sebuah arena peperangan. Semua kandidat calon presiden tengah memainkan posisi yang tengah disorot publik. Seuruh energi publik seakan 'dipaksa' untuk menyaksikan orkestra adu strategi serta taktik untuk memperebutkan citra positif di benak seluruh masyarakat.

Seminggu terakhir, kehebohan di panggung kampanye itu kian memanas. Segera setelah pengumuman tentang mandat yang diberikan Megawati kepada Joko Widodo (Jokowi) sebagai calon Presiden RI, berbagai kecaman kepadanya secara bertubi-tubi mengalir di media sosial. Yang menarik, kecaman itu justru dilontarkan secara massif oleh mereka yang jelas-jelas menjadi tim sukses.

Berbagai jurus serangan telah dilancarkan. Mulai dari menyebut Jokowi didukung para taipan Cina, mengangkat isu agama, menghantam dengan isu ingkar janji atas sebuah perjanjian. Hingga puncaknya adalah menyebutnya sebagai capres boneka. Strategi serangan ini sejatinya bermuara pada harapan bahwa Jokowi akan meladeninya. Namun ketika Jokowi justru diam saja, dan membiarkan para pengeritik itu berbicara sendirian, maka hasilnya akan tertebak. Boleh jadi, publik akan lebih mengapresiasi sosok yang tenang serta fokus untuk menggapai apa yang hendak dituju. Publik akan lebih peduli pada dia yang diam, tapi setiap gerakannya selalu mengejutkan.

Mereka yang sering wara-wiri di media sosial itu justru tak paham karakter media sosial. Semakin anda membicarakan satu sosok, maka semakin populerlah sosok tersebut. Semakin anda menyerang seseorang, maka semakin terkenal seseorang tersebut. Proses ini akan berujung pada dua kemungkinan, apakah sosok itu akan disukai ataukah dibenci. Sebab alam semesta telah mengajarkan, semakin keras lentingan sebuah bola, maka semakin keras pula pantulannya.

Ketika Jokowi tak meladeni semua serangan atasnya, maka ia semakin menunjukkan kematangannya. Ia mendapatkan kekuatannya lewat simpati publik yang terus mengalir. Ketika ia mengabaikan semua serangan, maka ia menempatkan dirinya pada posisi yang lebih strategis.  Ia semakin menyentuh hati publik sebab mengubah semua energi negatif yang mengarah ke dirinya, menjadi energi positif. Inilah yang dimaksimalkannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun