Saya melihat sisi positif dari kisah itu. Barangkali kisah ini menyimpan ajaran penting bahwa hutan-hutan bukanlah tempat yang kosong dan tak berpenghuni. Hutan-hutan adalah wilayah yang didiami banyak mahluk, memiliki kesatuan napas yang selaras dengan kehidupan di desa-desa, sehingga kelestariannya perlu dijaga dan dipertahankan. Bagi masyaraat Mamasa, hutan adalah wilayah yang didiami. Mereka memuliakan hutan sekaligus menjaganya.
Sayangnya, banyak perambah hutan dan pekebun yang kemudian merusaknya sebab menganggapnya sebagai komoditas.
Menuju Mamasa
Saya sangat menikmati perjalanan ke Mamasa. Pegunngan dan hutan belantara Mamasa amat menantang untuk dijelajahi. Bagi yang suka petualangan, Mamasa adalah tempat yang mengasyikkan. Dari Makassar, kita bisa menempuh perjalanan darat melalui Parepare, Pinrang, dan Polewali. Jalanannya masih mulus. Namun begitu hendak meninggalkan Polewali menuju Mamasa, jalanan mulai mendaki dan rusak parah. Meski jarak dari Polewali ke Mamasa hanya 90 kilometer, namun jalanan rusak menyebabkan perjalanan ditempuh hingga berjam-jam.
Sepanjang perjalanan, saya beberapa kali membatin. Bahwa Indonesia telah merdeka selama lebih 62 tahun, namun ada banyak warga yang tak pernah tersentuh pembangunan. Banyak pula tempat-tempat yang masih terisolasi sehingga sukar untuk dijangkau. Mereka yang tinggal di Mamasa dan pegunungan Sulawesi Barat adalah mereka yang tak beruntung. Mereka butuh berjam-jam berjibaku dengan jalan rusak yang berlumpur demi untuk berpindah ke kota lain, sementara warga daerah lain justru hidup nyaman dengan jalanan yang serba mulus.
Perjalanan itu laksana jendela untuk melihat tanah air Indonesia yang jauh dari ibukota. Jalanan rusak, akses warga terhambat, hingga kemiskinan petani menjadi potret buram negeri ini. Akan tetapi, rakyat biasa di pegunungan itu bukanlah tipe yang mudah mengeluh dan mengutuki keadaan. Mereka justru tersenyum ceria saat disapa banyak orang yang singgah untuk berteduh. Senyum mereka menjadi perlambang bahwa di tengah situasi sulit, selalu ada harapan untuk bangkit.
Namun lelah karena perjalanan jauh itu sontak terbayar ketika mobil yang kami tumpangi tiba di Mamasa. Di pagi hari, saya menyaksikan sebuah kota yang tertutupi kabut tipis. Meskipun jarak pandang hanya beberapa meter, saya menyaksikan keindahan kota ini. Mamasa ibarat terletak di tengah mangkuk yang pinggirannya adalah pegunungan. Di pagi buta, saya menyaksikan sejumlah ibu yang membawa barang dagangan ke pasar, lalu anak-anak yang menggiring kerbau di sawah-sawah hijau membentang. Beberapa di antaranya meniup suling sembari duduk di atas kerbau. Sungguh menarik dilihat.
Mirip Toraja
Sepintas, kota Mamasa mengingatkan pada Toraja. Bangunan khas di kota ini adalah tongkonan, sebagaimana bisa ditemukan di Toraja. Ukirannya juga mirip. Yang membedakannya hanyalah bentuk atap. Seorang warga menjelaskan bahwa tongkonan di Mamasa masih asli, belum ada renovasi. Entah, apakah keterangannya benar ataukah keliru, yang pasti antropolog George Junus Aditjondro pernah berkata bahwa jika ingin melihat Toraja yang asli, jangan datang ke Toraja. "Datanglah ke Mamasa," katanya.
Orang Mamasa memang bersaudara dengan orang Toraja. Mereka meyakini bahwa nenek moyangnya berasal dari Toraja. Makanya, rumah adat, pakaian tradisional, hingga agama lokal juga memiliki kesamaan. Satu hal yang juga menautkan mereka adalah kepercayaan pada mistik yang sama. Beberapa orang yang saya temui meyakini bahwa dunia mistik orang Mamasa sangatlah tinggi.
[caption id="attachment_330113" align="aligncenter" width="640" caption="sungai di tengah kota"]