***
HARI itu, di tahun 2011, rumah Pak JK di Pondok Indah kebanjiran tamu. Ia mengundang banyak orang untuk hadir di acara berbuka puasa. Aku datang dan melihat ada banyak tokoh di situ. Di antaranya adalah Anwar Nasution (mantan Gubernur BI), Aksa Mahmud, Sofjan Wanandi, Anies Baswedan, Mahfud MD, Ferry Mursyidan Baldan, Effendi Gazali, Quraish Shihab, Akbar Faizal, Yudi Latif. Aku juga sempat melihat Ippank Wahid, seorang konsultan politik ternama. Aku sendiri hadir untuk menemani seorang teman yang naksir pada Chaerani, putri bungsu Pak JK.
Seusai buka puasa dan salat magrib, Pak JK lalu bercerita bahwa dirinya kerap diminta Pak SBY untuk menyelesaikan konflik di beberapa daerah. Beberapa orang yang hadir langsung memprotes. Saat itu, Anies Baswedan beberapa kali mengingatkan Pak JK untuk tak menghadirinya. Ia tak ingin Pak JK menjadi bagian dari permasalahan yang sedang disulut oleh pemerintahan SBY-Boediono. Di tengah protes dan komentar itu, Pak JK tiba-tiba mengeluarkan kalimat yang membekas di pikiranku. "Selagi bangsa ini membutuhkan saya, maka saya tak mungkin menolak," katanya.
Kulihat Pak JK ingin menunjukkan kepada banyak orang bahwa meskipun pilihan politik berbeda, namun kecintaan pada negara harus tetap dijaga. Ketika negara memanggil, ia akan tetap datang. Terbukti, ia tak pernah menolak panggilan Pak SBY untuk diskusi tentang penanganan konflik, meskipun rekomendasi Pak JK lebih sering diabaikan Pak SBY.
JK memang tak pernah menghilang dari lapangan pengabdian. Ia memimpin Palang Merah Indonesia (PMI) yang selalu hadir di tengah bencana. Ia juga tak pernah memerintahkan anggotanya memosting apa yang dilakukan lembaganya di media sosial. Ia juga memimpin Dewan Masjid Indonesia (DMI) yang aktif untuk menggalang dana perbaikan beberapa masjid. Ia juga masuk ke detail-detail, seperti renovasi masjid, hingga sound system masjid yang katanya sering membuat jamaah tak bisa mendengarkan suara khatib. Tak hanya itu, ia juga memboyong Jokowi dari Solo ke Jakarta demi menjawab tantangan yang lebih besar.
Ia menunjukkan bahwa kerja-kerja keras membangun bangsa bisa dilakukan dari mana-mana. Pengaamannya menebar damai tak hanya diterapkan di tanah air, ia pun memberikan kontribusi di Rohingya, Myanmar. Â Ia pun dundang ke berbagai negara demi membagikan pengalamannya sebagai juru damai.
Seusai bercerita tentang kesediaannya untuk hadir memenuhi undangan Pak SBY, diskusi lalu mengalir, sebagaimana biasa. Kembali, Anies Baswedan menyebut tentang janji kemerdekaan yang harus ditunaikan. Ia lalu meminta Pak JK untuk mempertimbangkan dengan serius jika ada anak bangsa yang memintanya menjadi calon presiden. Anies punya pernyataan menarik tentang usia sepuh yang sering digunakan sebagai jurus serangan pada Pak JK. "Usia itu tidak dilihat dari seberapa lama seseorang menjalani hidup. Namun seberapa segar dan progresif idenya untuk bangsa ini," katanya.
Saat itu, JK tak ingin larut dalam perdebatan. Ia hanya berkata bahwa akan ada kejutan besar di tahun-tahun mendatang. Ia menujum bahwa akan muncul satu sosok yang akan mengejutkan tanah air, yang kelak akan mempengaruhi peta politik dan cara-cara orang memahami realitas politik. Tak disangka, nujuman itu perlahan menemui kenyataan ketika Jokowi hadir dan mengisi diskursus politik Indonesia. Terlepas dari sepakat atau tidak sepakat, kehadiran Jokowi telah memberi warna baru, baik kawan maupun lawan.
***
DUA hari lalu, aku sedang minum kopi bersama seorang staf pribadi Pak JK di dekat Sarinah, Jakarta. Kami sama-sama membahas peta politik yang terus berubah. Pemilu telah usai. Peta koalisi mulai terbuka. Kami juga membahas tentang para pengamat politik yang seolah lebih pandai dari para politisi. Kami jarang menemukan pengamat yang netral. Semua bekerja berdasarkan pesanan pemberi order, lalu berusaha mengarahkan peta-peta koalisi capres. Namun, saat bahas posisi JK, kami sama terdiam. Entah ke mana gerangan ia akan berlabuh, yang pasti ia akan menjawab panggilan berbakti pada negara, di lapangan apapun.