[caption id="attachment_368076" align="aligncenter" width="576" caption="penghargaan dari Kompasiana"][/caption]
BULAN November setahun silam, saya memenangkan dua penghargaan bergengsi di ajang Kompasianival. Pertama, terpilih sebagai reporter warga terbaik. Kedua, terpilih sebagai Kompasianer of the Year 2013. Penghargaan itu telah membawa banyak dampak besar dalam kehidupan saya. Ada banyak keajaiban dan kebaikan yang tiba-tiba hadir, tanpa diduga. Apakah gerangan?
***
DI tengah deru ombak Pulau Buton, saya mendapat telepon dari admin Kompasiana, Iskandar Zulkarnaen. Ia memberitahukan terpilihnya saya sebagai Reporter Warga Terbaik, sekaligus sebagai Kompasianer of the Year 2013. Tak terbersit sedikitpun dalam benak saya untuk mendapat penghargaan itu. Saya bukan penulis yang produktif. Saya juga bukan yang terbaik. Mengapa harus saya?
Saat itu, saya baru kembali dari studi di Amerika Serikat. Niat saya hanyalah hidup tenang dan menjalani aktivitas sebagai orang biasa di Pulau Buton. Menulis di Kompasiana hanyalah upaya untuk mengatasi rasa jenuh, sekaligus menebar kisah-kisah pesisir yang senyap dan terabaikan di tengah deru dan hiruk-pikuk kota. Sesekali saya ikut lomba, kalau melihat hadiahnya besar. Agak terkejut juga sebab tulisan saya menang lomba menulis esai ekonomi yang diadakan Sekretariat Kabinet RI. Rasanya sesuatu banget, sebab saya bukan berlatar belakang ekonomi.
Namun lebih terkejut lagi ketika menerima anugerah Kompasianer of the Year 2013. Saya mendengar ada kontroversi. Saya juga mendapat informasi dan bisik-bisik dari sejumlah orang yang tidak puas dengan kriteria pemberian penghargaan itu. Tapi saya mengabaikannya. Bagi saya, ada banyak hal yang jauh lebih penting untuk ditekuni ketimbang masuk dalam grup-grup yang berisi suara-suara negatif dan penyangkalan atas keputusan admin dan para juri lomba.
Sejak dulu, saya beranggapan bahwa menulis itu serupa meditasi untuk mengalirkan segala suara-suara lirih nurani atas peristiwa yang berseliweran di hadapan kita. Menulis serupa upaya untuk membasuh jiwa, mengalirkan segala resah dan kegelisahan agar ak mengendap dalam hati. Menulis serupa menanam kembang pikiran agar kelak semerbak mewangi dan menginsprasi orang lain. Takdir seorang penulis adalah takdir seorang penanam pohon kebaikan yang berharap agar kelak pohon itu tumbuh kuat dan kokoh, lalu berlimpah dengan buah-buah yang manis. Buah itu adalah saripati pengalaman dan hikmah-hikmah pembelajaran.
Makanya, saya memperbanyak tulisan reportase. Mengapa? Sebab melalui reportase, seseorang bisa berbagi pengalaman di setiap tempat. Reportase adalah jembatan bagi seseorang untuk mengasah rasa, menajamkan kepekaan dalam melihat keping kenyataan, serta menguatkan jiwa untuk senantiasa belajar pada kenyataan apapun yang disaksikan. Alasan yang lebih pragmatis, reportase jauh lebih mudah dibukukan, lebih aktual, menarik, serta menghibur. Iya khan?
Sayangnya, setahun silam saya tak bisa menerima penghargaan itu secara langsung di ajang Kompasianival sebab tiket perjalanan dari Buton ke Jakarta terlampau mahal. Akan tetapi, saya bisa berkesempatan untuk jalan-jalan ke Phuket, Thailand, bersama para peraih penghargaan lainnya di Kompasianival. Saya amat bahagia bisa melakukan perjalanan dengan para sahabat yang memiliki hobi sama untuk meramaikan dunia maya dengan banyak jejak pemikiran.