[caption id="attachment_371632" align="aligncenter" width="512" caption="sampul buku Islam di Mata Orang Jepang karya Hisanori Kato (foto: Yusran Darmawan)"][/caption]
SIAPA sih yang tak mengenal Fadli Zon? Hampir tiap hari wajahnya tampil di layar kaca. Sepanjang pilpres, ia selalu tampil dan menjadi 'pendekar berpedang' untuk membela Prabowo. Ide-idenya kontroversial, termasuk mengembalikan Orde Baru dan membela Soeharto. Ia diapresiasi secara berbeda. Ada yang sangat mengaguminya sebagai pembela jenderal paling hebat, namun banyak juga yang justru membencinya ketika muncul di televisi. Namun, bagaimanakah sosoknya di mata seorang peneliti Jepang? Apakah ia bisa memesonakan?
CERITA tentang Fadli Zon saya temukan dalam buku Islam di Mata Orang Jepang karya Hisanori Kato, terbitan Kompas 2014. Sebagaimana lazimnya para antropolog, dalam buku ini, Kato bercerita pengalamannya ketika melakukan riset tentang Islam di Indonesia. Dalam riset itu, ia tidak fokus pada ajaran dan teks keislaman. Ia fokus pada bagaimana Islam dipersepsi, dihayati, dan dijelmakan dalam sikap hidup para penganutnya.
Kato menuliskan beberapa sosok yang menurutnya inspiratif serta menjadi representasi Islam di Indonesia. Ia menulis pertemuannya dengan Gus Dur, Mohamad Sobary, Ismail Yusanto (Jubir HTI), Ulil Abshar Abdalla, Abu Bakar Ba'asyir, hingga beberapa sosok muda seperti Eka Jaya (anggota FPI) dan Fadli Zon. Pada beberapa tokoh itu, ia mengaku tidak sekadar wawancara. Ia sedang belajar dan menyerap pengetahuan.
Saya tertarik membaca kisah perkenalannya dengan Fadli Zon. Sebelumnya, saya memang tak punya banyak gambaran tentang sosok ini. Pernah, saya membaca bukunya Politik Huru-Hara Mei 1998, namun saya tak begitu terkesan. Bagi saya, buku itu tidaklah sedahsyat karya sejarawan John Roosa berjudul Pretext for Mass Murder. Buku John Roosa sungguh mengagumkan karena menyajikan fakta dan data yang detail tentang peristiwa 1965. Sementara buku Fadli Zon tak meninggalkan jejak sebarispun dalam pikiran, kecuali di situ ada pembelaan atas posisi Prabowo yang disudutkan.
Kato menggambarkan Fadli sebagai sosok penting di balik peristiwa demonstrasi besar-besaran anti SDSB. Pada tahun 1980-an, pemerintah memiliki program Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah (SDSB). Bentuknya adalah semacam lotere di mana setiap orang memiliki iming-iming untuk kaya. SDSB ibarat taruhan memasang sejumlah nomor. Jika tbakannya benar, maka akan mendapatkan hadiah. Jika tidak, maka bisa pasang nomor lagi pada kesempatan lain. Bagi Fadli, kebijakan memasang SDSB itu ibarat judi. "Hukumnya adalah haram," katanya.
Yang menarik buat saya, penggambaran tentang Fadli adalah sosok generasi muda Muslim yang getol memperjuangkan agama. Di saat wawancara itu, Fadli menginginkan agar Islam bisa diakomodasi di ranah politik. "Seharusnya Islam terlibat aktif dalam politik. Saya memimpikan Indonesia menjadi negara yang demokratis. Seperti anda ketahui, Indonesia adalah negara yang mayoritas warganya beragama Islam. Dalam hal ini keterlibatan warga Muslim sangat diperlukan," kata Fadli kepada Kato.
Wawancara ini penting untuk memahami bahwa pada mulanya Fadli memang tokoh yang berniat untuk menempuh jalan politik melalui wacana keagamaan. Padahal, jalan hidupnya agak berbeda. Sebab ia pernah menjalani sekolah menengah di Amerika Serikat (AS), pernah pula memiliki keluarga angkat yang beragama Kristen. Makanya, dua tahun setelah Soeharto turun, Fadli lalu bergabung dengan Partai Bulan Bintang (PBB) demi membumikan gagasannya tentang Islam. Sayangnya, ketika terjadi perpecahan di tubuh partai itu, Fadli lalu hengkang ke Inggris untuk belajar di London School of Economic (LSE).
Inspirasi Fadli
SATU hal yang saya saluti pada Fadli. Sosok ini cukup konsisten pada ranah kebudayaan. Ia rajin berburu koleksi publikasi, kartu pos, dan segala hal menyangkut Indonesia di luar negeri. Bahkan, ia juga mengumpulkan foto-foto bersejarah untuk dipajang di rumah budaya dan perpustakaan yang didirikannya.
Dua tahun silam, seorang sejarawan yang saya temui di negeri Paman Sam menyampaikan kekagumannya atas upaya Fadli Zon mendapatkan koleksi foto saat Kartosuwiryo, pemimpin gerakan DI/TII, dieksekusi pemerintahan Soekarno. Dokumen foto itu amat bernilai bagi para sejarawan yang hendak memahami kejadian tersebut demi menyerap tetes-tetes hikmah masa silam.
Fadli mendirikan Rumah Budaya di Tanah Datar, Sumatera Barat, daerah kelahiran Fadli. Di situ, ia memang sekitar 100 koleksi keris Minangkabau yang dikumpulkannya selama bertahun-tahun. Ia juga mengoleksi lebih 700 buku bersejarah yang bertema Minangkabau, serta beberapa koleksi bersejarah di antaranya keris Luk Sembilan asal pagaruyung yang dibuat pada abad ke-18, songket lama, dan lukisan kuno. Ia juga memajang fosil kerbau berusia dua juta tahun di rumah budaya itu.
Kecintaan Fadli pada ranah budaya dan literasi juga diwujudkan dengan pendirian Fadli Zon Library di Jakarta. Ia memiliki perpustakaan dengan koleksi buku sebanyak 40.000, koleksi koleksi naskah kuno, dan koleksi koran tempo dulu. Beberapa koleksi lainnya adalah: koleksi keris, tombak, pedang dan bandik dari berbagai kerajaan Nusantara, koleksi perangko, koleksi uang logam (coin), koleksi patung dan lukisan dari berbagai maestro seniman Indonesia, koleksi piringan hitam (long play) dari musisi atau penyanyi Indonesia, koleksi rokok yang di produksi di Indonesia, koleksi tekstil dan kain tua dari berbagai daerah, serta koleksi kaca mata dari beberapa tokoh.
Sayangnya, artikel Hisanori Kato tentang Fadli tidak menyajikan diskusi atau kisah-kisah mengapa Fadli lalu berbalik haluan dan mendampingi Prabowo Subianto. Saya menyayangkan mengapa hal ini tak dibedah lebih jauh. Sebab kisah perjumpaan dengan Prabowo serta pilihan politik Fadli untuk mendampinginya pastilah menyimpan cerita yang menarik bagi semua sejarawan dan pemerhati ilmu sosial.
Meskipun bulan termasuk pemilih Prabowo di ajang pilpres, saya selalu penasaran untuk mengetahui alasan Fadli berada di sisi jenderal itu. Sebagai budayawan dan pengkaji sejarah, barangkali ia punya sisi lain yang tak banyak diketahui publik. Apakah sang jenderal membiayai sekolahnya serta menjamin kehidupannya, sebagaimana rumor yang berseliweran di dunia maya?
Jika benar sang jenderal itu membiayai semua sekolah dan kehidupannya, maka pilihan politik Fadli mengabdi padanya atas dasar balas budi sembari melupakan berbagai agenda besar bangsa ini, akan menjadi cacat di mata banyak orang. Sebab ia bergerak secara oportunis demi pemenuhan kebutuhan pribadi. Ia bisa dituding telah menjadikan kebudayaan, pengetahuan, dan kebenaran sebagai alat legitimasi bagi ambisi politik seseorang. Namun jika pilihan itu didorong oleh pengenalan karakter, masa silam, serta visi ke depan Prabowo, maka Fadli akan menjadi bagian penting bagi sejarah masa depan. Mengapa? Sebab saya meyakini bahwa semua kebaikan pastilah akan mendapatkan ruang terhormat di rumah sejarah kita. Kebaikan kadang kalah, namun ia akan selalu memenangkan hati dan nurani banyak orang.
Semoga saja Fadli Zon berada di titik itu. Entah.
Bogor, 3 November 2014
BACA JUGA:
Inspirasi Indonesia di Mata Orang Jepang
Kisah Setahun Jadi Kompasianer of the Year
Supernova, Gelombang, dan Kenanganku atas Dewi Lestari
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H