Mohon tunggu...
Yusran Darmawan
Yusran Darmawan Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Tinggal di Pulau Buton. Belajar di Unhas, UI, dan Ohio University. Blog: www.timur-angin.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Tafsir Papua untuk Yansen

29 November 2014   16:09 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:32 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sejak tahun 2001, kebijakan otonomi khusus Papua menjadikan desa-desa berlimpah materi. Papua telah melangkah lebih jauh. Hanya saja, ada sejumlah catatan menarik yang kemudian dititipkan. Ternyata, gagasan tak selalu berbanding lurus dengan kenyataan lapangan. Adalah penting untuk mengungkap semua catatan itu agar menjadi pelajaran berharga yang membuat mata lebih terang untuk melihat banyak sisi lain.

Pertama, pemberian wewenang dan kuasa anggaran untuk menentukan desain pembangunan adalah hal yang positif. Akan tetapi, hal itu bakal sia-sia jika tak diiringi penguatan kapasitas dari manusia-manusia yang hidup di desa. "Biar banyak dana dan kewenangan, kalau desa tidak tau mau bikin apa, maka kebijakan apapun bisa sia-sia," kata Frans, warga Waisai, Raja Ampat.

[caption id="attachment_379045" align="aligncenter" width="576" caption="saat saya mendiskusikan buku bersama para sahabat di Raja Ampat, Papua Barat"]

1417226897104346977
1417226897104346977
[/caption]

Sejak tahun 2002 hingga 2013, dana Otsus Papua yang dikeluarkan mencapai Rp 40 triliun rupiah. Namun, sampai saat ini, masyarakat Papua masih memprihatinkan. Warga Papua masih banyak yang kelaparan, mengalami gizi buruk, hingga meninggal. Mengapa bisa terjadi? Ada banyak faktor yang bisa diurai. Salah satunya adalah tidak siapnya sumber daya manusia, lemahnya pengelolaan, serta tingkat korupsi yang tinggi.

Makanya, kebijakan pemberian wewenang itu tidak harus dilihat sebagai salah satu solusi yang mengatasi semua masalah. Harusnya, ada tiga aspek yang harus diperhatikan. Yakni (1) perencanaan pembangunan, (2) implementasi anggaran, dan (3) aspek pertanggungjawaban atas penggunaan anggaran. Ketiga aspek ini adalah tali-temali yang mengikat semua pihak, termasuk desa.

Kedua, banyaknya wewenang dan turunnya anggaran bisa menyebabkan terjadinya tumpang-tindih dalam pelaksanaan program. Bukan rahasia lagi kalau di kalangan pemerinta terjadi saling silang dan benturan saat terjadi di lapangan. Entah kenapa, kita belum juga bisa membangun satu pendekatan yang komprehensif dan menjadi bahasa bersama bagi semua pihak.

Benturan ini menyebabkan tidak bekerjanya sistem, yang kemudian bisa berdampak bagi masyarakat. Sungguh ironis jika mengingat bahwa desa-desa di Indonesia masih menjadi kantong kemiskinan, sehingga rawan terjadinya ketidakadilan sosial.

***

DI Papua Barat, saya mendiskusikan pendekatan yang ditempuh Yansen di Malinau. Pendekatan itu efektif untuk menghidupkan energi dan gairah pembangunan di daerah perbatasan. Pendekatan itu mengingatkan orang pada kalimat ilmuwan sosial Soedjatmoko bahwa pembangunan tidak selalu terkait ekonomi, namun terkait erat dengan manusia. Makanya, tujuan prmbangunan haruslah bisa menjadi pijakan untuk melejitkan pemenuhan potensi kemanusiaan.

14172265122025373697
14172265122025373697
bersama para sahabat di Papua

Tentu saja, jalan ke arah itu cukup terjal untuk ditempuh. Tapi Yansen telah meletakkan satu landasan penting untuk membangun kepercayaan (trust) kepada rakyat. Entah, apakah Yansen pernah membaca tulisan Francis Fukuyama ataukah tidak. Sebab, beberapa tahun silam, Fukuyama juga mengurai pentingnya kepercayaan, solidaritas, dan institusi sebagai elemen utama modal sosial yang merekatkan semua anggota masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun