Mohon tunggu...
Yusran Darmawan
Yusran Darmawan Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Tinggal di Pulau Buton. Belajar di Unhas, UI, dan Ohio University. Blog: www.timur-angin.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Doraemon, Soft Power, dan Imajinasi

23 Desember 2014   16:48 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:38 755
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Yup, Nobita memang bukan seorang anak yang sempurna dan kuat. Alasan inilah yang menjadikan Doraemon tak begitu disukai anak Amerika, yang gandrung pada superhero. Tapi justru kelemahan Nobita itulah yang membuatnya sangat manusiawi dan digandrungi jutaan anak-anak Asia. Ada banyak anak yang merasa senasib dengan Nobita, yang kemudian menjalani hidup sebagai petualangan dan pembelajaran yang amat mengasyikkan.

Yang bikin saya tersentak adalah imajinasi tentang masa depan yang begitu memukau. Di film ini, ada adegan ketika Nobita di masa depan, menyaksikan gedung-gedung tinggi yang menampilkan nama TOYOTA dan beberapa perusahaan Jepang secara mencolok. Ada pula gambaran tentang mobil terbang, monorail tergantung, teknologi canggih pemindai kesehatan, hingga rumah-rumah yang minimalis, hijau, dan tak padat sebagaimana masa kini. Saya suka melihat rumah Shizuka yang lantainya serupa kolam, bisa menimbulkan riak ketika dipijak.

Melihat brand perusahaan Jepang itu, saya teringat pada studi yang dilakukan akademisi Saya Sashaki Shiraishi dalam buku Network Power: Japan and Asia yang diedit oleh Peter J Katzenstein dan Takashi Shiraishi, yang diterbitkan Cornell University tahun 1997. Dalam tulisan berjudul Japan's Soft Power: Doraemon Goes Overseas, Siraishi memaparkan analisis menarik tentang Doraemon sebagai bagian dari soft power Jepang. ia mengutip istilah soft power yang dipopulerkan Joseph Nye untuk menggambarkan bagaimana pengaruh budaya dalam dinamika politik.

Shiraishi menggambarkan persaingan antar negara di era pasca Perang Dunia kedua yang lebih mengarah pada persaingan ekonomi dan bisnis. Doraemon dan juga beberapa tokoh dalam komik seperti Astro Boy dan Dragon Ball telah menjadi bagian dari ikon Jepang saat melakukan penetrasi ke banyak negara. Melalui strategi budaya, yang diwakili sosok Doraemon, Jepang lalu membanjiri pasar dunia dengan berbagai produk Jepang. Inilah strategi budaya yang ampuh, efektif, dan terasa menyenangkan, namun secara perlahan diikuti oleh penetrasi ekonomi.

Tak heran kalau saat majalah Time menobatkan Doraemon sebagai Asian Heroes pada tahun 2002, penulis Pico Iyer menyebut karakter ini sebagai 'pahlawan paling menggemaskan di Asia'. Ia mengingatkan setiap orang bakal terpesona saat menyaksikan kisah hebat ini. Saat hal yang luput dari pandangan Pico Iyer bahwa kisah Doraemon ini lebih dari sekadar kisah.

Kisah ini telah lama tumbuh dan mewarnai masa kanak-kanak yang penuh imajinasi. Kisah ini telah menguatkan karakter Jepang untuk menjadi penguasa di ranah sains dan teknologi. Sebagaimana dicatat Shiraishi, perilaku Nobita yang selalu membutuhkan alat itu adalah gambaran dari perilaku sebagai "konsumen kreatif" yang selalu haus dengan inovasi dalam teknologi. Seakan jadi formula baku, Nobita selalu menggunakan alat pemberian Doraemon di luar niatan awalnya.

Percobaan Nobita memang kerap berujung petaka. Tapi, keingintahuan dan rasa optimismenya yang meluap-luap tak akan pernah hilang. Shiraishi menyimpulkan, "Keingintahuan anak-anak, rasa bebas, dan pikiran jernih pada akhirnya akan menghasilkan beragam produk teknologi, sebagaimana alat yang dibawa Doraemon dari masa depan." Inilah kunci serial Doraemon. Inilah kunci dari segala inovasi dan daya cipta serta kreasi anak-anak yang ketika tumbuh besar selalu ingin menggapai hal baru.

[caption id="attachment_385200" align="aligncenter" width="576" caption="persahabatan Doraemon dan Nobita"]

14193027512089920708
14193027512089920708
[/caption]

Kisah Doraemon mengingatkan saya pada kalimat fisikawan besar Albert Einstein bahwa "Imagination is more important than science." Bahwa imajinasi jauh lebih penting daripada ilmu pengetahuan. Pantas saja, sekolah-sekolah dasar di luar negeri lebih menekankan pada kegembiraan, mengasah daya cipta lewat permainan, menciptakan kondisi yang memungkinkan lahirnya kebebasan dan sikap tanggung jawab. Sebab hanya dengan kebebasan, kegembiraan, dan kebahagiaan, imajinasi bisa melesat jauh ke langit tinggi, dan kelak akan memungkinkan lahirnya penemuan hebat dalam sejarah manusia.

Seusai menyaksikan kisah Doraemon dalam Stand by Me, ada banyak tanya yang menghujam dalam benak saya. Mengapa industri kreatif bangsa kita tak kunjung bisa menghasilkan satu ikon dan karakter yang menggambarkan karakter kita sebagai bangsa yang perkasa dan punya solidaritas tinggi? Mengapa daya-daya inovasi dan imajinasi anak-anak kita harus terkungkung oleh prasangka negatif dan sikap nyinyir dari banyak orang di sekitar kita?

Biarlah pertanyaan ini dijawab oleh kita, manusia Indonesia. Tak perlu menunggu alat ajaib yang keluar dari perut Doraemon.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun