Mohon tunggu...
Yus R. Ismail
Yus R. Ismail Mohon Tunggu... Penulis - Petani

suka menulis fiksi, blog, dan apapun. selalu berharap dari menulis bisa belajar dan terus belajar menjadi manusia yang lebih manusiawi.... berdiam dengan sejumlah fiksi dan bahasan literasi di https://dongengyusrismail.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Durna Edan

11 Oktober 2019   09:28 Diperbarui: 11 Oktober 2019   09:46 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seperti biasa, Bratasena yang memang haus ilmu, segera berangkat memenuhi petunjuk sang guru. Semangat Bratasena berlawanan dengan hati resi Durna yang menjerit. Baru kali itu sang guru merasa air minum serasa hambar makan nasi serasa basi. 

Padepokan Sokalima yang begitu indah; pepohonan menghijau, air mengalir bening, burung-burung berkicau, hewan-hewan bersuara, tidak mengobati gundahnya jiwa.

Ya, karena resi Durna tahu, Hutan Tikbrasara itu jangankan pernah dimasuki manusia, burung lewat saja jatuh karena keangkerannya. Belum lagi dua raksasa penunggu Rukmuka dan Rukmakala yang sadis tiada bandingnya. Bratasena harus lenyap, begitu pesan dari Astina.

Sedikit yang mengobati hati resi Durna, dia merasa tidak sendirian. Sekarang ini tahun politik menjelang Baratayudha. Banyak resi, pendeta, romo, ustadz, kiai, apalagi sekedar wakil rakyat atau pejabat partai; yang menyerah karena uang atau jabatan.

Itu sebabnya rasa gembira resi Durna saat melihat Bratasena datang dengan kabar keberhasilannya, hanya sekejap ditumpas dengan tipu muslihat baru.

"Air suci itu memang adanya di dasar samudra minangkalbu," kata resi Durna.

Bratasena tanpa prasangka curiga segera berangkat lagi. Tapi hati resi Durna sudah tidak bisa terobati lagi. Badannya panas-dingin, menggigil. Bicaranya melantur menyebut-nyebut nama ksatria kedua dari Pandawa itu. Begitu sadar lagi, resi Durna mencari-cari tali tambang di gudang. Di kebun padepokan resi Durna menggantung diri. Sayangnya talinya kepanjangan.

Sejak itu resi Durna sering terlihat berkeliling kota hanya memakai handuk sambil menggumamkan sesuatu. "Ampun politik... ampun politik...." Begitu katanya. ***

3 September 2019

Bersetting cerita pewayangan, tapi sebenarnya menyoal politik saat ini. Cerpen ini pernah tayang di koran Kedaulatan Rakyat, 15 September 2019. Bila ada fiksianer yang ingin juga dimuat di koran yang terbit di Yogya ini, lihat catatan saya di Cerpen Unik Kedaulatan Rakyat. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun