"Saya lihat kamu masih hobi demonstrasi. Hobi, kan? Kamu mendemo penghina agama. Lalu begitu heroik bilang, yang tidak ikut demo itu kafir! Yang tidak sependapat bahwa itu penghina agama adalah kafir! Sementara bertahun-tahun kamu melecehkan agamamu sendiri, kamu diam saja. Kamu itu baru bisa membaca Al-Qur'an terbata-bata, tanpa membaca artinya, tanpa membaca tafsirnya, tanpa tahu asbabunnuzulnya, tanpa merenungkan isinya! Makanya kamu eksklusif, tidak bermasyarakat, tidak peduli lingkungan, kamu lebih galak daripada anjing pemburu! Bila dipercaya kamu juga berhianat, korupsi!"
Rasanya saya semakin mengenal orang yang bicara seperti itu.
"Mestinya kamu bacakan lagi puisi yang pernah kamu tulis pada masa kuliah saat kamu suka demo: Ke jalan mana lagi kita demonstrasi bila yang mendemo diri sendiri?! Itu yang kamu butuhkan sekarang, mendemo diri kamu sendiri!"
Saya suka berbincang dengan siapa saja, termasuk dengan kenalan baru. Tapi dengan orang ini, diam-diam saya mulai jengkel juga. Dia sepertinya tidak sadar apa yang diomongkannya. Mungkin dia sendiri sebenarnya yang brengsek seperti itu! Saya ingin mendebatnya. Tapi sebelum saya bicara, murotal Qur'an dibacakan dari masjid di seberang taman kota.
"Ok, deh. Sepertinya sudah mau jum'atan lagi. Saya pergi dulu, saya jum'atan di rumah. Assalamualaikum."
Pulang jum'atan, di depan masjid, saya melihat istri saya sedang menunggu.
"Maafkan saya sudah mengikuti Mas sejak pagi. Saya heran waktu Pak Adri bilang Akang tidak pernah masuk kerja setiap Jum'at pagi. Saya pikir Akang menemui... istri siri."
Saya tersenyum kecut.
"Tapi Mas jangan seperti yang bicara sendiri, senyum-senyum sendiri. Mas seperti yang tidak waras! Tadi, di taman kota."
Saya diam beberapa saat, lalu tersenyum dan bilang: "Justru tadi itu saat-saat Mas merasa waras." ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H