Pengantar: cerpen ini sudah tayang di koran Kedaulatan Rakyat 24 Maret 2019. Sebuah cerita yang simpel, pendek, karena begitulah ruangan yang tersedia di koran Yogyakarta ini. Semoga ke depannya saya bisa menuliskan pengalaman mengirim cerpen ke koran Yogyakarta ini. Melalui cerpen ini awalnya saya hanya ingin bilang: Paling gampang nasihati, marahin, nyalahin orang lain. Sanggup nggak marahin, nyalahin, nasihatin diri sendiri? Entahlah apa yang terasa dan tersimpulkan oleh pembaca.
Seperti biasa, Jum'at pagi saya menghentikan angkot di depan taman kota. Mestinya saya sudah di kantor sekarang. Tapi sudah ijin dari kemarin kepada Adri, atasan yang sebenarnya sahabat saya sejak kecil. Ijin bahwa kerja pagi saya diganti mulai bakda jum'atan saja.
Belum semenit saya duduk di bangku taman, saya dikejutkan oleh seseorang yang menghampiri dan duduk di sebelah saya.
"Halo, Bro. Apa kabar? Kebetulan sekali kita bertemu di sini," katanya sambil mengajak bersalaman.
"Alhamdulillah, baik," jawab saya sambil mengingat-ingat.
"Haha... pasti sibuk bertanya-tanya: siapa saya? Ya, kan? Pasti lupa, kan? Ini ada tandanya. Permainan masa kecil, main bola di sawah. Lalu mandi di sungai. Lalu...."
"Lalu ke kebun Wak Dullah?"
"Dan kamu mencuri mangga!"
Saya terkejut. Kok, yang diingatnya mencuri mangga? Saya jadi ingat, bukan hanya mencuri mangga, tapi mencuri jeruk juga, mencuri ikan juga, mencuri telur ayam juga... ah, ternyata begitu banyak yang pernah saya curi tapi selalu menganggapnya itu kenakalan masa kecil.
"Makanya, jangan sok baik! Kok, susah banget memaafkan orang yang nyata-nyata mau meminta maaf!"
"Maksudnya?"