Mohon tunggu...
Yus R. Ismail
Yus R. Ismail Mohon Tunggu... Penulis - Petani

suka menulis fiksi, blog, dan apapun. selalu berharap dari menulis bisa belajar dan terus belajar menjadi manusia yang lebih manusiawi.... berdiam dengan sejumlah fiksi dan bahasan literasi di https://dongengyusrismail.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Legenda Orang yang Suka Senyum

30 Januari 2019   09:38 Diperbarui: 30 Januari 2019   10:41 275
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setiap Dia tersenyum saya selalu sakit perut.

Entah bagaimana penjelasan ilmiahnya. Saya ini selalu rangking satu di sekolah. Sejak PAUD sampai perguruan tinggi selalu mendapat hadiah. Bukan hanya peringkat terpandai, tapi juga hadiah kompetisi pengetahuan umum, olimpiade matematika, mengarang ilmiah, debat bahasa asing, dsb. Tapi setiap melihat Dia tersenyum, saya tidak bisa berpikir apa-apa.

Mungkin karena saya sakit perut itu. Sakit perut yang membuat melilit seluruh isi perut. Usus serasa dipijit, diurut dan ditarik-tarik. Lambung mual luar biasa, tapi tak pernah ada sesuatu yang keluar meski sudah ohek-ohek-ohek berjam-jam lamanya. Sakit perut yang akhirnya membuat seluruh tubuh menanggung nyeri dan pusing. Makanya saya tidak bisa berpikir. Dan pertanyaan itu tetap menjadi pertanyaan: apa hubungannya tersenyum dan sakit perut?

Ibu selalu marah setiap Dia tersenyum.

"Kenapa kamu masih lakukan itu?" kata Ibu terdengar samar-samar.

"Iseng saja, Bu."

"Iseng? Kamu tahu kan akibatnya?"

"Maaf deh, Bu."

"Jangan pergunakan lagi ilmu hitam itu!"

Dia lalu menghilang. Saya pun perlu berjam-jam untuk kembali pulih. Dan ternyata bukan hanya saya, tapi ayah, kakak, adik, tukang masak, tukang kebun, tukang cuci, penjaga malam, anak-anak yatim yang diasuh Ibu, semuanya ternyata mengalami sakit perut. Percis seperti saya. Hanya saja, hanya saya yang mendengar percakapan Ibu dan Dia.

Itulah yang membuat saya penasaran. Ibu terdiam berjam-jam lamanya saat saya tanya; ilmu hitam apa yang Dia punyai? Dari sudut matanya mengalir sebutir air bening kemerahan. Airmata darah! Tentu saja saya tidak berani menunggu. Biarlah saya mundur dan tidak akan bertanya seperti itu lagi bila Ibu tidak menghendaki. Tapi baru saja satu langkah saya mundur, terdengar suara Ibu begitu parau.

"Dia mewarisi ilmu Penipu yang paling lihai di muka bumi ini. Penipu yang pernah dikutuk Tuhan."

Tentu saja saya terkejut. Penipu yang dikutuk Tuhan itu selama ini hanya sebuah legenda dalam pengetahuan saya. Legenda yang tertulis di buku-buku, juga di kitab suci. Dan kini, legenda itu nyata adanya. Nyata dalam tubuh Dia, saudara saya. Hanya Ibu di rumah ini yang tidak terpengaruh senyumnya. Ya, karena Ibu adalah yang mengandung dan melahirkannya. Di luar rumah sana, pastinya tidak ada yang sanggup menahan ilmu hitam berupa senyum itu.

"Saya tidak percaya Dia hanya iseng," kata saya entah dari mana mempunyai kekuatan seperti itu.

"Rahasiakanlah ini, pakailah Kacamata Blackpink untuk mengatasinya. Di dunia ini, hanya kamu yang tahu siapa Dia dan bagaimana cara mengatasinya."

"Bukankah Blackpink adalah girl grup K-Pop...."

"Huss! Jangan campurkan dengan dunia pop. Kita ini hidup di dunia legenda, begitulah kenyataannya. Warna hitam dan pink itu sama-sama gelap dan misterius, saat disatukan terjadi reduksi dan oksidasi yang tidak akan terjangkau pikiran manusia. Percaya saja!"

"Ya, saya percaya, Ibu."

Ibu lalu berdiri, berjalan sambil menunduk. Sunyi, sedih, haru, cekam, dan sejenisnya.

**

Betul perkiraan saya, Dia tidak hanya iseng. Di luar rumah dia menjadi raja tandingan di dalam kerajaan, menjadi presiden tandingan di dalam negara. Orang-orang tidak pernah ada yang tahu siapa Dia. Karena setiap Dia tersenyum, semua orang mengaduh sakit perut. Sakit perut yang kemudian menjalar menjadi komplikasi segala penyakit. Kemiskinan, kelaparan, risau-galau, berbagai penyakit kejiwaan, putus asa, jalan-jalan berlubang, bangunan tidak selesai-selesai, intrik politik, kejahatan kerah putih kerah hitam kerah merah; senyum Dia-lah penyebabnya. Tapi orang-orang tidak menyadarinya. Orang-orang tidak tahu siapa Dia.

Perlu saya terangkan sedikit, di kota saya Ibu adalah pemimpin yang dihormati. Ibu memerintah dengan bijaksana dan rasa keibuan dari Rumah Putih tempat kami tinggal. Tentu saja pada pelaksanaannya Ibu dibantu oleh ayah, saudara-saudara lainnya, dan juga para pegawai yang cakap. Tapi kata Ibu, kali ini, hanya saya yang tahu rahasia Dia dan cara mengatasinya.

Di luar Rumah Putih, memang sedang terjadi kekacauan yang luar biasa. Kejahatan terjadi di jalanan, di rumah-rumah mewah, di kantor-kantor dinas, di gedung-gedung terhormat. Dan menurut penelitian saya, itu semua senyum Dia penyebabnya. Dia ternyata mempunyai rumah yang lebih megah dan mewah dibanding Rumah Putih. Dia ternyata memimpin para begal, copet, pembunuh, pemeras, preman, penipu, dan penjahat lainnya. Dia oleh para penjahatnya lebih ditakuti dibanding Ibu oleh masyarakatnya.

Di kalangan para penjahat, panggilan Dia adalah Yang Tidak Boleh Disebut Namanya. Sebuah panggilan yang sakral dan mengerikan. Di antara mereka pun ada sebuah pribahasa, "bila ada darah di jalanan, minum-minumlah di kafe". Sebuah pribahasa yang juga mengerikan. Artinya, kejahatan janganlah dianggap mengerikan. Ya, karena merekalah penjahatnya.

Bertahun-tahun saya mengikuti apa yang Dia lakukan. Bagaimana Dia tersenyum dan orang-orang sakit perut. Lalu para penjahat anak buah Dia membegal, mencuri, merampok, membuat peraturan, mengatur proyek, tender, menandatangani ijin yang tak seharusnya, dsb. Mereka lalu berpesta dengan segala yang serba mewah. Mobil seharga miliaran, baju dari butik perancang internasional, jam tangan seharga setara puluhan rumah sederhana, celana dalam seharga setara puluhan petak sawah yang terpaksa dijual petani, hadiah-hadia istimewa bagi para kekasih gelap, liburan-liburan teraneh dan termahal di dunia, dsb.

Dan kesempatan itu kemudian datang. Entah bagaimana awalnya Dia menginginkan lagi menikmati kejahatan kroco dengan membegal taksol alias taksi online. Saya yang sudah siap dengan Kacamata Blackpink dan topeng wajah ala Hollywood agar tidak dikenali, segera menjadi sopir taksi online. Perjalanan penuh canda di malam bergerimis itu pun terjadi. Dia duduk di depan di samping saya dengan banyak cerita lucu.

Di jalan tol saat kecepatan mobil 80 km per jam, Dia tersenyum. Tersenyum lalu tertawa saat saya melepas injakan gas.

"Kamu harus tahu, bagian yang paling saya nikmati bukan ini," kata Dia sambil menarik saya ke ujung jok dan Dia mengambil alih kemudi. "Bagian terindah dari perampokan ini adalah cara mengadopsi yang paling up to date dan menginspiratif dari kejahatan internasional. Bunuh dan buang mayatnya ke sungai, kubur di pinggir hutan, atau bakar; sudah ketinggalan jaman. Pembunuhan di Timur Tengah sana menghilangkan jejak dengan cerdas. Mutilasi, larutkan dalam cairan asam dan buang ke sungai. Polisi mana yang sanggup membongkarnya? Hahaha...!"

Tapi sebelum Dia beraksi, saya yang pura-pura sakit perut dan pingsan, dengan Kacamata Blackpink tetap menempel di mata, hanya sekali menarik pelatuk pistol yang sejak tadi menodong Dia dari balik baju.

**

"Dia sudah habis, Bu. Tubuhnya sudah dimutilasi, dilarutkan ke cairan asam, lalu dibuang ke sungai. Percis seperti kejahatan yang dia impikan," kata saya ketika lapor kepada Ibu.

Ibu masih tetap memandang ke kejauhan. "Dia tidak hanya larut di air, tapi juga terbang di udara, menyepi di bumi. Sekali waktu Dia akan muncul lagi. Akan muncul lagi...," kata Ibu masih tetap parau.

Kata-kata itu yang membuat saya terhenyak. Tapi selanjutnya saya selalu waspada. Saya terus mempelajari Dia dan senyum sebagai ilmu hitam warisan Penipu yang dikutuk Tuhan itu. Dan kemudian saya dikenal sebagai satu-satunya Profesor Senyum di bumi yang bulat ini.

Berpuluh tahun kemudian, seorang walikota menangis di hadapan Ibu dan saya. Dia bersedih karena kejahatan, terutama yang terselubung, membuat kotanya yang subur-makmur itu merana.

"Kota kami punya lembaga yang menangkapi penjahat, namanya KPK alias Komite Pemberantasan Korupsi. Tapi setiap KPK menangkap penjahat, lalu pengadilan memenjarakan mereka, mereka itu selalu tersenyum di depan kamera. Lalu mengepalkan tangan seolah pahlawan yang menyemangati rekan-rekan seperjuangannya," kata Tuan Walikota itu dengan suara sedih.

Saya melihat foto-foto dan video yang dibawa walikota itu.

"Dia memang telah kembali, Ibu," kata saya sambil melirik Ibu. "Tapi Tuan Walikota ini juga yang andil mengundangnya. Penjara itu tidak ada apa-apanya bagi Dia. Dia itu banyak uangnya. Mengapa dikasih kesempatan lagi setelah terbukti kejahatannya."

"Mungkin saat peraturan itu dibuat, Dia sedang tersenyum," kata Ibu.

Tuan Walikota menunduk sedih. Entah mengerti entah tidak. ***

Sumedang, 26-27 November 2018

Cerpen ini pernah tayang di Tribun Jabar. Sengaja tayang lagi di ini, karena saya ingin menulis sedikit pengalaman menulis (mengirim cerpen) ke Tribun Jabar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun