Sinopsis:
Mimpi adalah kekuatan, penyemangat hidup. Semua orang berhak punya mimpi, bahkan yang mustahil pun bisa di raih. Selama ia mau berjuang untuk mimpi itu.
Kisah ini tentang perjuangan gadis kembar dalam meraih mimpinya. Membaca novel ini tak hanya belajar arti perjuangan. Tapi juga merasakan sensasi menjelajah ke tiga negara.
Bab 1 : Taman Bermain
“Hey, tunggu kak...” gadis itu terus berlari mengelilingi taman bermain. Ia tak peduli dengan bocah laki-laki bertubuh tambun yang mengikutinya. Sesekali ia menoleh ke belakang sembari melambaikan tangan dan tersenyum.
“Ayo, cepat kejar aku!” ujar gadis itu meledek sambil terus berlari. Nafasnya tersengal-senggal. Tapi ia tak mau berhenti. Malah berlari semakin jauh, hingga bocah laki-laki itu tak bisa mengejarnya. Wajah si gadis tampak senang.
Sore ini cukup ramai di taman prestasi. Tak hanya para keluarga yang menghabiskan waktu bermain bersama anak-anaknya. Para muda-mudi yang masih berseragam sekolah juga asyik berduaan. Mereka tampak mesra, mengikat janji setia. Ada yang saling berpelukan di atas sepeda motor. Ada yang duduk-duduk di bawah pohon saling menatap dan berpegangan tangan. Aku yang melihat mereka, jadi malu sendiri. Padahal mereka biasa saja.
“Auwww...” bocah laki-laki itu berteriak. Ia terjatuh. Kakinya tak sengaja menginjak bongkahan batu. Aku segera berdiri memastikan apa yang terjadi dengan bocah itu. Saat hendak menolongnya. Kulihat gadis itu berlari menuju ke sana. Aku mengurungkan niat. Ingin melihat apa yang dilakukannya. Ternyata, Ia merangkul bocah laki-laki itu dengan hangat, melihat luka di kakinya dan meniup-niupnya untuk mengurangi rasa sakit.
“Maafkan aku dik, maafkann ya...!” tangisan bocah laki-laki itu semakin kencang. Gadis itu mengusap punggung si bocah. Ada air mata yang keluar dari sudut matanya. Ia tak tega melihatnya kesakitan. Dari kejauhan seorang laki-laki dewasa berjalan menghampiri keduanya. Dengan penuh kasih sayang, dibisikkan ke telinga si bocah. Hingga bocah itu terdiam dan menuruti kata-katanya. Aku tak bisa mendengar apa yang dikatakan laki-laki dewasa itu. Yang pasti sebuah kata-kata yang menenangkan. Bocah laki-laki yang sedang terluka itu digendong, sementara si gadis berjalan beriringan sambil menggenggam erat jemari tangan sang Ayah dan bercerita tentang apa yang terjadi.
Uh, lagi-lagi perasaanku campur aduk. Melihat sosok Ayah yang begitu perhatian kepada anaknya. Entahlah apakah ini perasaan haru atau kerinduanku akan sosok Ayah yang tak pernah ada dalam kehidupanku. Hanya Ibu, perempuan satu-satunya yang selalu ada di dekatku. Setiap sabtu sore, Ibu selalu mengajakku ke taman prestasi di jalan ketabang kali Surabaya. Bersama kedua adik kembarku. Kami naik angkot bertiga. Berangkat jam dua siang agar bisa puas bermain. Karena biasanya di hari sabtu pengunjung taman prestasi membludak. Apalagi taman ini baru diresmikan, banyak yang ingin datang ke sana. Menikmati wahana permainan baru. Ibu mengajakku berangkat agak siangan. Sementara Mbak Anggun, lebih memilih berdiam diri di rumah menonton tv dibandingkan ikut bersama kami.
Di taman prestasi ini aku bisa bebas bermain, ada banyak permainan mulai dari ayunan, jungkat-jungkit, seluncuran hingga area bermain pasir pantai. Ada banyak bangunan berbentuk rumah-rumahan lengkap dengan jembatan gantung mini, bisa untuk tempat sembunyi dan berlatih keseimbangan. Dengan menyeberangi jembatan yang dibuat dari tali tambang marlon. Tali ini dibuat dari lembaran-lembaran benang wol yang dipilin menjadi satu kesatuan utuh dengan panjang dan ukuran tertentu. Ada juga bangunan yang bentuknya menyerupai buah, dengan jendela di kedua sisinya. Bagus sekali digunakan untuk berfoto.
“Dik, lihat sini!” kupanggil kedua adik kembarku, mereka menoleh ke arahku.
“Aku hitung ya, 1 ... 2 ... 3 ...” Mereka tersenyum, saat blitz di kamera kodak ku menyala. Kulihat lagi hasil jepretan fotoku. Semuanya bagus-bagus. Kuambil lagi beberapa obyek pemandangan yang indah di sini. Pepohonan yang rindang, burung-burung liar yang hinggap di dahan menjadi target obyek fotoku. Setelah puas, aku duduk di samping Ibu. Menyandarkan kepalaku di bahunya. Rasanya menenangkan.
Tiba-tiba dari arah berlawanan, datang gadis kecil menyodorkan boneka imut kepadaku. Boneka beruang kecil dengan bulu yang halus sekali. Ia ingin aku memegang boneka itu. Gadis yang cantik dengan dua kunciran di rambutnya. Aku tersenyum kepadanya. Gadis itu terus berbicara kepadaku, menceritakan tentang kesukaannya dengan si beruang. Saat hendak kupeluk ia berlari menjauhiku sambil membawa boneka beruangnya. Kemudian mengintip dari balik pohon.
Menghabiskan waktu di taman ini, membuatku senang. Bisa melihat dan mengamati pemandangan yang masih hijau dan segar. Apalagi taman prestasi ini sangat luas, lahannya mencapai 6.000 meter. Semua permainan di sini gratis. Tempat yang nyaman untuk berkumpul bersama keluarga menghabiskan malam minggu sambil berburu kuliner.
Setelah adzan magrib berkumandang, aku diajak Ibu pergi ke balai kota Surabaya. Jarak dengan taman prestasi tidak jauh, hanya sepuluh menit dengan berjalan kaki sudah sampai tujuan. Di sana suasananya lebih ramai lagi, apalagi hari sabtu. Banyak hiburan gratis yang di sediakan. Mulai live musik, pertunjukkan jaranan, wayang dan komedi. Tempat nongkrong yang asyik bagi pasangan muda-mudi yang lagi kasmaran. Para Penjualnya juga lebih banyak. Barang yang dijual lengkap. Harganya murah-murah. Semakin malam, semakin ramai.
Aku biasa bermain di dekat air mancur, melihat gerakan air dari bawah ke atas. Sengaja mendekatkan tubuhku agar terkena percikan air. Hmm, rasanya segar saat mengenai kulit. Ibu selalu marah, jika aku terlalu lama bermain air. Bajuku basah, dan bisa membuat tubuhku menggigil kedinginan. Kalau sudah begini, Ibu mengajakku membeli mainan. Aku selalu suka dengan mainan bebek yang terbuat dari lilin dibungkus dengan kantong plastik dan diisi air berwarna merah atau hijau. Kemudian membeli bola bekel berwarna-warni dan melihat kembang api. Membuatku jadi betah berlama-lama di sini.
“Cahya, temani adikmu bermain dulu. Ibu pergi sebentar, mencari Ayahmu.” Aku hanya mengangguk dan menuruti perintah Ibu.
Hampir setengah jam aku menunggu. Kedua adikku mulai lelah. Ia merengek minta pulang. Sementara Ibu, kulihat masih berdiri di pinggir jalan menanti Ayah. Sesekali ia memberhentikan supir angkot yang lewat menanyakan keberadaan Ayah. Kedua adikku semakin rewel. Aku tak bisa menenangkannya. Terpaksa kuajak mereka pergi menemui Ibu.
“Belum ketemu Ayah, Bu!” perempuan muda itu menggeleng.
“Tunggu ya, sebentar lagi Ayahmu pasti lewat.” Aku hanya mengangguk dan ikut menunggu.
Mungkin ini yang menjadi alasan Mbak Anggun tak pernah mau ikut, jika diajak pergi ke taman prestasi. Bukannya gak mau bermain, ternyata menunggu itu menjemukan dan membosankan. Apalagi, jika yang ditunggu tak jelas batang hidungnya. Tapi disinilah aku menghabiskan akhir pekanku. Menunggu seseorang yang tak tahu kapan akan datang.
“Mas, mas...” Ibu berlari mengejar angkot berwarna coklat dengan tulisan Lyn V di depan bodi motornya.
“Ayo Cahya, cepat berdiri. Gandeng kedua tangan adikmu. Ayahmu sudah datang!” Aku langsung sigap mendengar perintah Ibu. Dengan setengah berlari aku mengejarnya. Hampir saja aku terjatuh. Untunglah aku memegang tangan Ibu. Akhirnya, kami bertiga berhasil naik ke dalam angkot. Aku tak tahu apa yang terjadi di antara keduanya. Yang kutahu Ibu sangat marah malam itu, berteriak-teriak memukul kaca pembatas antara tempat supir dan penumpang. Laju angkot semakin kencang, aku terus memegangi kedua tubuh adikku.
Jantungku terus berdegup kencang, berusaha menahan keseimbangan agar tidak jatuh. kulantunkan doa-doa memohon keselamatan. Rasa takutku semakin besar. Khawatir terjadi sesuatu dengan kami.
“Bug...” Akhirnya aku terjatuh dari kursi. Lenganku terasa sakit. Angkot yang dikendarai Ayah, tiba-tiba berhenti mendadak.
“TURUN SEMUA, TURUN...” Aku kaget saat mendengar Ayah berkata kasar. Hatiku sakit. Kami jarang bertemu, tapi ia tak pernah merindukanku. Ibu masih berdebat dengan Ayah. Sementara aku dan kedua adikku turun dari angkot dengan perlahan. Banyak para pengendara jalan, penjual dan tukang becak yang melihat ke arahku. Aku malu.
Ibu terus menangis, sementara Ayah berlalu meninggalkan kami. Ia pergi bersama dengan seorang wanita yang sedari tadi menemaninya duduk di depan. Sejak itu, aku benci Ayah dan tak mau lagi mengenalnya.
*******
“Binar, ayo ke sini. Kumpul rame-rame!” teriakan Ulfa membuyarkan lamunanku.
“Kalau kelamaan sendirian, awas lho nanti kerasukan. Pohon beringin itu terkenal angker.” Ulfa selalu begitu, kegemarannya menonton film mistis membuatnya tergila-gila dengan sosok hantu. Dan sering berhalusinasi. Padahal aslinya penakut, tapi berlagak sok pemberani.
“Iya, aku akan ke sana.” Aku bergegas menuju kerumunan cewek muda yang sedang asyik bercengkerama di dekat taman bermain. Bersiap foto selfi, agar bisa diposting di sosial media masing-masing.
Saat mengambil posisi untuk berfoto, ada yang menarik perhatianku. Sosok laki-laki tua, memakai topi dengan pakaian lusuh lewat di depanku. Sekilas wajah itu tak asing bagiku, ia mirip dengan laki-laki yang kubenci. Yang selalu menorehkan luka di hati para wanita. Laki-laki yang kasar. Mengingatnya saja sudah membuatku sakit. Apa yang harus kulakukan. Pura-pura tak mengenalnya atau terpaksa menyapanya. Tapi siapa laki-laki itu?
Untuk kelanjutan ceritanya bisa dibaca di:
Kwikku/KMBApp cari judul DER TRAUM
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H