Mohon tunggu...
Yusnaeni
Yusnaeni Mohon Tunggu... Penulis - Blogger

https://yusnaeni.com/

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Habiskan Rp 20 Juta per Bulan, Penderita Penyakit Langka Butuh Bantuan

5 Januari 2020   11:15 Diperbarui: 7 Januari 2020   00:49 233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada beberapa anak Indonesia yang menderita penyakit langka. Namun, hanya sedikit yang bisa survive karena kurangnya pengetahuan masyarakat, pemerintah dan tim medis itu sendiri. Berdasarkan data yang diperoleh dari Yayasan Mucopolly Sacharidosis (MPS) dan Penyakit Langka Indonesia, ada sekitar 350 juta orang dengan penyakit langka, 30% di antaranya adalah anak-anak di bawah lima tahun. Mereka harus berjuang memenuhi kebutuhan makanan untuk bertahan hidup. Tak hanya itu, mereka juga harus menghadapi sulitnya mendapatkan nutrisi dari ketersediaan hingga mahalnya biaya yang harus dikeluarkan. 

Praba Dewantara, bayi berusia sembilan bulan sempat berpindah-pindah rumah sakit untuk mengobati penyakitnya. Beruntungnya setelah dirawat di NICU Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, penyakitnya dapat diketahui. Ia menderita penyakit langka Methylmalonic Acidemia, suatu gangguan metabolisme bawaan, dimana tubuh tidak dapat memecah protein dan lemak tertentu.

Sebelumnya, kakak Praba juga menderita penyakit yang sama. Penyakitnya terlambat diketahui dan diobati. Belum berumur seminggu, kakak Praba meninggal dunia. "Kakaknya tiga hari sesak napas, adiknya sudah diperhitungkan, sehingga bisa teratasi," kata Karina Astari, ibu Praba pada diskusi media dan blogger tentang penyakit langka dalam perayaan Hut RSCM ke 100 di Istora Gelora Bung Karno, Sabtu (21/12).

Untuk bertahan hidup, Praba membutuhkan obat-obatan dan terapi. Obatnya berbentuk susu yang harus dibeli dari Amerika. Untuk mendapatkan susu tersebut, Karina mengaku sangat kesulitan. Prosesnya cukup panjang. Memesannya di Amerika, dikirim lewat Singapura, setelah itu baru ke Indonesia. Meski sudah dibantu oleh pabrik susu tersebut, tetap saja Karina kesulitan mendapatkan susu karena terkendala bea cukai dan lain-lain.

Harga per kaleng susu adalah Rp1 juta, sudah termasuk biaya pengiriman dan pajak. Kira-kira per bulannya, Karina dan suaminya harus mengeluarkan biaya sebesar Rp20 juta untuk pengobatan Praba. Belum lagi, Karina harus menyewa orang yang memiliki kualifikasi kesehatan untuk menjaga Praba selama ia dan suaminya bekerja. Besaran gaji yang harus diberikan tentu tidak murah. Meski setiap bulan ia mampu mengeluarkan biaya sebesar itu, ia mengaku selalu was-was. "Selalu ada rezeki, tapi setiap bulan saya dan suami was-was, susunya bisa datang atau tidak," ujar Karina lalu menjelaskan bahwa susu tidak bisa dipesan dalam jumlah banyak karena akan menyulitkan bagi yang membawanya. "Saya lelah dengan kekhawatiran ini," tegas karyawan swasta salah satu perusahaan di Jakarta ini.

Penderita penyakit langka membutuhkan nutrisi dan obat-obatan khusus, salah satunya berbentuk susu yang harus diimpor dari luar negeri. Sumber foto: agrodiario.com
Penderita penyakit langka membutuhkan nutrisi dan obat-obatan khusus, salah satunya berbentuk susu yang harus diimpor dari luar negeri. Sumber foto: agrodiario.com
Satu lagi penderita penyakit langka yaitu Sashi. Gadis berusia 14 tahun itu, terdeteksi menderita Fenilketonuria (PKU) pada usia 12 hari. Sashi lahir di Tokyo. Pada saat lahir tidak menunjukkan gejala apapun. Hanya saja pemerintah Jepang mewajibkan semua bayi yang lahir untuk skrining dan hasilnya Sashi menderita kelainan metabolik bawaan yang menyebabkan penderita tidak bisa memetabolisme asam amino fenilalanin atau disebut PKU. Fenilalanin tersebut akan menumpuk di darah dan otak sehingga menyebabkan kerusakan otak serta menimbulkan disabilitas intelektual permanen.

"Sashi sejak bayi harus melakukan diet dengan makanan khusus yang bebas protein fenilalanin," ujar ibunda Sashi, Diah Roostanti. Selama di Jepang, Sashi tidak kesulitan mendapatkannya. Namun, setelah kembali ke Indonesia, mereka mengalami masalah. Semua bahan makanan belum tersedia, sehingga Diah harus membeli di Eropa secara daring.

Sashi sangat tergantung dengan formula dan makanan tersebut seumur hidupnya. Sehingga orang tuanya selalu mengupayakan, berapapun dana yang harus dikeluarkan. Saat masih kecil, kebutuhan Sashi setiap bulannya sebesar Rp10 juta. Semakin besar semakin banyak obatnya sehingga saat ini Diah harus mengeluarkan biaya Rp20 juta per bulan. Belum biaya sekolah dan lain-lain.

Sama seperti Karina dan Praba, Diah dan Sashi sangat butuh perhatian dari pemerintah.

Menurut Damayanti, ada sekitar 6000 - 8000 jenis penyakit langka yang telah dikenali dan dihadapi oleh 350 juta orang di dunia. Sebanyak 75% dari pasien penyakit langka adalah anak-anak dan hanya sekitar 5% pasien yang mendapatkan penanganan yang memadai. Di Indonesia sendiri, 1 dari 1000 orang memiliki penyakit langka. Selain berbahaya bagi kondisi kesehatan anak sendiri, anak dengan penyakit langka juga berpotensi mengalami stunting akibat sulitnya pemenuhan nutrisi pada awal kehidupan.

"Sama seperti anak lainnya, anak dengan penyait langka juga membutuhkan pemenuhan nutrisi sesuai kebutuhan masing-masing untuk mencegah malnutrisi atau stunting. Walaupun memiliki penyakit langka, bukan berarti kondisi kognitif anak dapat dinomorduakan," jelas Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan Dokter Spesialis Anak Konsultan Nutrisi Penyakit Metabolik itu.

Ia melanjutkan bahwa tidak sedikit anak dengan penyakit langka yang membutuhkan Pangan untuk Kondisi Medis Khusus (PKMK) yang mencakup makanan, baik dalam bentuk cair atau padat. Akan tetapi, pemenuhan nutrisi anak dengan penyakit langka menjadi sebuah tantangan tersendiri karena tingginya biaya PKMK, hingga belum adanya dukungan memadai dari pemerintah. Padahal seharusnya pemerintah wajib mendukung kebutuhan anak dengan penyakit langka, apalagi saat ini sudah diterbitkan Peraturan Menteri Kesehatan nomor 29 tahun 2019 tentang penanggulangan masalah gizi bagi anak akibat penyakit.

Ketua Yayasan MPS dan Penyakit Langka Indonesia Peni Utami menuturkan, peraturan tersebut sudah mengatur intervensi gizi spesifik. Namun, sampai saat ini belum ada petunjuk teknis untuk memastikan implementasi peraturan terkait.

"Di Indonesia para orang tua jungkir balik karena terkendala birokrasi. Jadi saya sangat berharap kepada pemerintah, tolong donk buatkan juknisnya sehingga bisa dipakai dananya," tegas Damayanti.

Di Kabinet Indonesia Maju Jilid II, Presiden Joko Widodo mengharapkan program kerja tidak hanya terkirim (sent) tetapi juga tersampaikan (delivered). Begitu pula dengan peraturan pemerintah, tidak cukup berhenti di regulasi tetapi harus ada implementasi. Tanpa implementasi yang terarah, kebijakan akan menjadi sia-sia. Diperlukan petunjuk teknis dan komitmen pemerintah daerah untuk membuat gebrakan kebijakan ini sebagai fondasi intervensi gizi anak-anak berisiko stunting, termasuk anak dengan penyakit langka.

"Kami memiliki harapan dan kepercayaan besar bahwa pemerintah dapat membantu meringankan biaya kebutuhan pengobatan anak kami, serta mendukung masa depan anak-anak kami," tutup Karina.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun