Mereka adalah Tumbal
Sebaiknya Anda lihat nama-nama berikut, karena tulisan ini akan mengangkat kembali beberapa pihak yang menjadi tumbal dari sebuah kesewenang-wenangan penguasa. Tulisan ini juga semata-mata sebagai sikap bahwa kita wajib menolak lupa, agar kita tidak menjadi tumbal berikutnya.
Pertama, dan yang terbaru, Novel Baswedan. Secara pribadi saya tidak yakin dengan kiprah dia di masa lampau. Tapi dalam insiden penyiraman muka Novel dengan air keras, saya percaya, Novel adalah tumbal.
Kedua, Sanusi. Siapa yang tidak percaya Sanusi terima uang? Sanusi saat ini terdakwa suap kasus Raperda reklamasi pantai utara Jakarta.
Alasannya: Setiap patgulipat kebijakan, ada tiga unsur yang pasti terlibat, eksekutif, legislatif, dan pihak yang berkepentingan. Sebagai catatan, yang memiliki kepentingan atas Raperda Kontribusi Tambahan adalah eksekutif, karena eksekutif-lah yang akan menikmati uang itu. Jadi pertanyaan sederhananya: bila legislatif sudah menjadi terdakwa, apa kabar gubernur?
Alasannya: Menurut anggota legislatif, kasus UPS adalah proyek “belah semangka” dengan kasus pembelian Sumber Waras. Artinya, tanpa proyek Sumber Waras, maka kasus UPS tidak terjadi. Siapakah yang berkepentingan dalam proyek Sumber Waras? Dialah Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok alias Sunan Kalijodo.
Keempat, warga Jakarta korban penggusuran. Mereka adalah orang miskin yang tidak dapat menolak menjadi korban muslihat Ahok. Data menyebutkan
Ini baru sebagian tumbal Ahok selama dia mengurus ibukota. Lantas benarkah Ahok adalah pemimpin sukses di Jakarta?
Itulah sebabnya, marilah kita renungkan bersama, berapa banyak lagi akan ada tumbal di DKI Jakarta, bila pasangan calon nomor urut 2 itu terpilih menjadi gubernur.
Pembangunan di Jakarta ini bukan milik Ahok. Ali Sadikin bahkan tidak pernah rakus menganggap megahnya Jakarta adalah masterpiece Ali Sadikin. Jadi kita tidak perlu khawatir. MRT itu kan terus jalan sesuai rencana. Busway akan tetap ada, begitu juga dengan KJP, karena itu semua program yang sudah direncanakan.
Di sisi lain, logika sederhana sekalipun sejatinya menyadari, bahwa kita memiliki pilihan nomor 3, pasangan calon yang lebih santun dan manusiawi, untuk menata Jakarta tanpa kegaduhan. Kegaduhan yang akhirnya memicu konflik horizontal, dan mengganggu roda perekonomian Jakarta.
Bukankah demikian?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H