Kadar beroperasinya nalar dan logika di dalam beberapa aliran dan sekte esoterisme Timur itu bebeda antara satu tradisi dengan tradisi lain; Hindu Vedanta atau pun Buddha Madhyamika adalah representasi tradisi yang dikenal amat intelektual.Â
Toisme, sebuah gaya olkutis, malah mencurigai nalar dan logika. Lebih melampau, Zen yang tumbuh dari Buddhisme dan amat terpengaruh Taoisme, tampil sebagai entitas 'yang tanpa kata', 'tanpa penjelasan', 'tanpa perintah', 'tanpa pengetahuan'.Â
Zen, menumpukan sepenuhnya pada 'pengalaman pencerahan', tak berminat untuk menakwil atau menafsir pengalaman itu.Â
Sebuah ungkapan tua Zen: "Ketika engkau berbicara mengenai suatu hal, segera lupakan maknanya". Persepupuan kecerahan esoterik Taoisme?: "Ketika Tuhan bernama, maka bukan Tuhan lagi".Â
Zen yang aduhai itu selalu dilengkung dalam puisi klasik Jepang (Haiku) atau sajak "telapak tangan", karena tampil serba pandak, pun tak menyuruh didatangi "makna".Â
Capra menulis; ketika seorang rahib bertanya kepada Fuketsu Ensho; "Jika bicara ataupun diam tak bisa diterima, bagaimana seseorang bisa lulus tanpa kesalahan"? Jawab Sang Guru:
Kerap ku ingat Kiangsu di bulan Maret...
Merdu ayam hutan,
Semerbak bunga mewangi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H