Pada kesempatan kali itu, Faruk H.T., sebagai seorang kritikus dan ilmuwan sastra, sekaligus Dosen Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada (UGM) ini menyampaikan beberapa poin karakteristik karya Pak Budi Darma dengan judul “Nalar Jungkir Balik Budi Darma”. Faruk H.T. mengatakan:
“Sebagian besar peristiwa dari novel Budi Darma pada dasarnya apa yang dinamakan oleh Roland Barthes sebagai satelit. Jadi, satelit itu memutari suatu orbit yang disebut sebagai kernel, kernel ini adalah peristiwa yang signifikan secara dari segi plot. Satelit adalah peristiwa-peristiwa kecil-kecil banyak sekali yang melingkar di sekitar kernel untuk membentuk kernel itu. Banyak peristiwa yang membentuk cerita tersendiri bahkan banyak peristiwa yang membentuk cerita tersendiri, baik manifes maupun laten, membentuk semacam sub plot, jadi ceritanya bisa tersebar ke dalam berbagai banyak sub plot dengan hubungan .yang tidak terlalu jelas dengan rangkaian kernel.”
Lantas, Dr. Seno Gumira Ajidarma. S.Sn., M,Hum., seorang penulis sekaligus ilmuwan Sastra Indonesia menyambung dengan penyampaiannya mengenai teori Sastra Pak Budi Darma yang bertema “Budi Darma: Siasat dalam “Keluarga M””. Beliau menghighlight tutur katanya:
“Strategi Kepengarangan Budi Darma", yaitu: 1) kesehariannya sebagai penghayat kehidupan,untuk selalu mengamati manusia; 2) pemeluk teguh konsepnya atas manusia, untuk menjadi ‘tema siap pakai’; dan 3) memeras keberdayaan menulis, saat detik kemungkinannya tiba.
Okky Puspa Madasari, yang dikenal sebagai Okky Madasari adalah seorang novelis, esais, dan akademisi Indonesia menyambung penyampaiannya mengenai telaah esai pak Budi Darma bertemakan “Sastra sebagai Medan Intelektualitas”. Okky Madasari menekankan kutipan dari Pak Budi Darma (1973) yang berbunyi:
“Dalam Sastra, kita tidak bisa bercita-cita untuk menurunkan kapasitas intelektual kita. Sastra adalah intellectual exercise, dan kita bercita-cita untuk menaikkan kapasitas intelektual kita.”
Beliau menggarisbawahi bahwasanya Pak Budi Darma secara eksplisit, betul-betul mengatakan bahwa sastra adalah intellectual exercise. Ini membutuhkan kemampuan intelektual untuk bisa menulis karya sastra, membutuhkan kemampuan intelektual untuk memahami karya sastra. Saya pribadi cukup sepakat dengan apa yang dipaparkan oleh Okky Madasari, kemampuan intelektual sangat dibutuhkan untuk menulis dan memahami karya sastra.
Kemudian, Suyatno menyampaikan ulasannya yang bertajuk “Mainstream, Domain, dan Vokal Novel Budi Darma”. Suyatno menyoroti:
“Pak Budi Darma mencoba untuk masuk ke ke dunia mainstream dengan totalitas dan memaksimalkan proses kreatif total untuk sebagai penulis yang hebat, yang punya hak untuk memainkan unsur-unsur sastra sebebas-bebasnya. Pak Budi Darma selalu totalitas dan maksimal untuk proses kreatif, karena betul-betul memanfaatkan semua potensi yang ada di Sastra.”
Memang tidak bisa dipungkiri bahwa sosok Pak Budi Darma ini sangat utuh dan tangguh ketika berkaitan dengan potensi di bidang Sastra.
Dalam prosesnya menjadi sastrawan dan guru besar di Universitas Negeri Surabaya, beliau memberikan insight kepada para penulis yang ingin menulis di luaran sana. Bagi mendiang Pak Budi Darma, seorang penulis tidak perlu memikirkan terlalu banyak hal ketika ingin menulis, hanya tulis apa yang ada di pikiran kita. Beliau adalah seorang penulis yang merdeka, akan mencurahkan pikirannya saat itu juga lalu menghampiri mesin ketiknya. Beliau adalah sosok yang inspiratif dan memiliki jiwa kreatifitas yang sangat tinggi. Besar harapannya sosok Pak Budi Darma akan menjadi inspirasi Sastrawan di seluruh penjuru negeri.