Mohon tunggu...
Yusmaini Yusmaini
Yusmaini Yusmaini Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Hobi saya jalan - jalan dan saya juga suka nonton

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cinta yang Tak Terucap

23 November 2024   14:07 Diperbarui: 23 November 2024   14:33 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Judul: Cinta yang Tak Terucap

Di sebuah kota kecil yang dikelilingi sawah hijau, terdapat seorang gadis bernama Lina yang hidup sederhana. Ia tinggal bersama ibunya di sebuah rumah kecil di ujung desa. Setiap hari, Lina membantu ibunya berjualan sayur di pasar. Meskipun hidupnya tak banyak kemewahan, ia merasa bahagia karena selalu dikelilingi orang-orang yang baik.

Suatu hari, saat Lina sedang berjalan pulang dari pasar, ia bertemu dengan seorang pemuda yang sedang duduk di pinggir jalan. Wajahnya tampak lelah, tetapi matanya memancarkan ketenangan. Lina merasa ada yang berbeda pada pemuda itu. Tanpa sengaja, langkahnya terhenti saat mata mereka bertemu.

"Permisi, apakah kamu baik-baik saja?" tanya Lina, sedikit canggung.

Pemuda itu tersenyum tipis. "Aku hanya sedang berpikir tentang sesuatu. Terima kasih sudah bertanya."

Lina mengangguk dan melanjutkan perjalanannya, tetapi entah kenapa, wajah pemuda itu terus terbayang di pikirannya. Setiap kali berjalan pulang dari pasar, ia tak bisa menghindari pemikiran tentangnya.

Hari demi hari berlalu, dan mereka kembali bertemu di tempat yang sama. Percakapan mereka semakin akrab, meskipun Lina hanya tahu sedikit tentang pemuda itu. Namanya Ardi, seorang pelukis yang sering menghabiskan waktu di desa itu untuk mencari inspirasi. Meskipun Lina tertarik pada sosok Ardi, ia selalu merasa ada jarak yang tak bisa ia lewati.

Pada suatu sore, saat matahari mulai tenggelam dan langit berwarna keemasan, Lina duduk di bangku kayu dekat sawah, tempat yang sering ia kunjungi untuk menenangkan pikiran. Tiba-tiba, Ardi datang dan duduk di sebelahnya.

"Kamu suka tempat ini?" tanya Ardi sambil memandang langit.

Lina mengangguk. "Iya, setiap kali aku di sini, aku merasa dunia ini lebih tenang."

Ardi tersenyum. "Aku sering datang ke sini juga. Sawah ini memberi banyak inspirasi untuk lukisanku."

Mereka berdua terdiam, menikmati keheningan sore itu. Namun, Lina merasa ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Ia ingin mengatakan sesuatu, tetapi kata-kata itu terasa begitu sulit keluar.

"Ada yang ingin kamu katakan?" tanya Ardi, seolah bisa membaca perasaan Lina.

Lina menunduk, menggigit bibirnya. "Aku... Aku hanya merasa bahwa kita seperti ada di dunia yang berbeda. Meskipun kita sering berbicara, aku tak tahu apa yang sebenarnya kamu rasakan."

Ardi terdiam, lalu berkata perlahan, "Aku merasa hal yang sama. Kita memang sering berbicara, tapi entah kenapa, aku selalu merasa ada jarak di antara kita."

Lina menoleh pada Ardi, matanya berbinar. "Lalu, apa yang bisa kita lakukan?"

Ardi menghela napas, menatap wajah Lina dengan penuh arti. "Mungkin, kita hanya perlu memberi waktu. Waktu untuk mengenal lebih dalam, dan mungkin... waktu untuk mencintai dengan lebih nyata."

Lina merasa hatinya berdebar. Ia tahu, apa yang Ardi katakan adalah hal yang sulit, tetapi juga sebuah harapan yang tak bisa ditolak. Mereka berdua diam sejenak, membiarkan perasaan itu meresap dalam keheningan sore.

Pada akhirnya, Lina tidak pernah mengucapkan kata cinta dengan jelas. Namun, dalam setiap tatapan, dalam setiap senyum yang mereka bagi, cinta itu mulai tumbuh, meski tak terucap.

Beberapa bulan kemudian, Ardi memutuskan untuk tinggal lebih lama di desa itu. Ia merasa, di tempat ini, ia bisa menemukan kedamaian dan inspirasi yang lebih dari sekadar lukisan. Lina pun merasa, meski cinta tak selalu perlu diungkapkan, kadang-kadang ia hanya perlu dirasakan, dalam diam yang penuh makna.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun