Mohon tunggu...
Yusiana Puspitasari
Yusiana Puspitasari Mohon Tunggu... Lainnya - Emak dua anak

Freelancer

Selanjutnya

Tutup

Politik

Nine-Dash Line: Benarkah Ancaman Kedaulatan yang Sesungguhnya?

1 Juni 2024   00:13 Diperbarui: 1 Juni 2024   08:04 271
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Nine-Dash Line

Nine-Dash Line adalah sebuah narasi yang digunakan oleh Pemerintah Republik Rakyat Tiongkok untuk mengeklaim kepemilikan terhadap sebagian besar Laut China Selatan. Garis ini terdiri dari sembilan garis putus-putus yang menandai batas wilayah yang diklaim oleh Tiongkok. 

Konsep Nine-Dash Line muncul pada tahun 1947, ketika pemerintah Republik Tiongkok (Kuomintang) mengeluarkan peta yang menampilkan garis-garis yang melingkari sebagian besar Laut China Selatan. Garis ini menyebabkan klaim wilayah yang tumpang tindih dengan negara lain seperti Vietnam, Filipina, Malaysia, Brunei, dan Taiwan. Hal ini tentu saja berlawanan dengan hukum maritim internasional yang telah disepakati oleh negara - negara anggota PBB yang dikenal dengan United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS).  

Hukum Laut Internasional (UNCLOS)

UNCLOS adalah perjanjian internasional yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1982 yang bertujuan untuk menetapkan kerangka kerja hukum internasional yang mengatur pemanfaatan laut dan sumber daya laut secara adil dan berkelanjutan serta menetapkan konsep-konsep penting seperti zona ekonomi eksklusif (ZEE), landas kontinen, dan perairan internasional. Hingga saat ini UNCLOS dianggap sebagai salah satu hukum laut internasional yang paling komprehensif.

Awal mula ketegangan

Tak puas dengan konsep Nine-Dash Line, Tiongkok melakukan manuver besar dengan membangun pulau buatan dan mendirikan instalasi militer di kepulauan Spratly pada tahun 2014. Salah satu pulau buatan terbesar yaitu Pulau Fiery Cross yang terletak di Kepulauan Spratly yang diperkirakan memiliki luas sekitar 2.7 kilometerpersegi. Tiongkok juga telah menambahkan infrastruktur militer ke beberapa pulau buatan lainnya di Pulau Subi dan Pulau Mischief. Pembangunan ini dipandang oleh ahli hukum internasional sebagai langkah yang melanggar wilayah maritim negara lain dan menggangu kebebasan navigasi.

Kontroversi terkait Manuver Tiongkok di Laut China Selatan

Beberapa pihak berpendapat bahwa Indonesia harus mengambil tindakan tegas untuk melindungi kepentingan nasionalnya, sementara yang lain mengkhawatirkan konsekuensi diplomatik dan militer dari langkah-langkah agresif.

1. Tindakan Militer: Sebagian kalangan menyerukan agar Indonesia meningkatkan kehadiran militer di sekitar Kepulauan Natuna sebagai tanggapan terhadap klaim Tiongkok. Mereka berpendapat bahwa kehadiran militer yang kuat akan memperkuat kedaulatan Indonesia dan menunjukkan komitmen untuk melindungi wilayahnya.

2.  Diplomasi Multilateral: Pendekatan lain adalah melalui diplomasi multilateral dan kerjasama regional. Indonesia telah berupaya memperjuangkan penyelesaian damai sengketa di Laut China Selatan melalui forum seperti ASEAN. Namun, beberapa kritikus berpendapat bahwa pendekatan ini kurang efektif dalam menangani klaim agresif Tiongkok.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun