Mohon tunggu...
Yusfrian Sneijder Mantong
Yusfrian Sneijder Mantong Mohon Tunggu... Freelancer - Mencoba Menjadi Penulis

dalam pencarian jati diri jodoh dan pekerjaan tetap instagram: @ianmantong

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

AC Milan yang Kini Tanpa Maldini dan Inzaghi

16 Desember 2019   08:06 Diperbarui: 16 Desember 2019   08:12 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kemenangan AC Milan 1-0 atas Parma di giornata ke 14 laga Serie A yang lalu seperti memperlihatkan AC Milan yang baru, kemenangan yang diraih di menit menit akhir laga tersebut tidak hanya terkesan dramatis tapi juga penuh haru. Indikasinya bukan pada hasil akhir yang diraih susah payah oleh anak asuh Stefano Pioli tapi dari proses dan perjuangan tanpa kenal lelah yang mereka perlihatkan seakan memberi kesan inilah momentum untuk awal kebangkitan Si Setan Merah.

Wajar jika mereka harus mencari moment yang pas, mengingat kata menang saat ini seperti sulit untuk bisa dirasakan Milan. Theo Hernandez dkk serasa sudah seabad mereka tidak mampu memetik hasil maksimal, bahkan beberapa orang menyebut Milan tidak ada bedanya dengan tim tim sekelas Udinese atau SPAL musim ini.

Beberapa pengamat hingga mantan pemain Milan menyebut kegagalan Milan musim ini tidak terlepas dari kesalahan pihak manajemen mulai dari pemilihan pelatih hingga transfer asal asalan menjadi penyebabnya. Banyak juga pihak yang mengatakan terpuruknya Milan musim ini sebenarnya dimulai dari investasi taipan asal Tiongkok Li Hongli yang menyebabkan Elliots yang merupakan pemilik Milan saat ini lebih sibuk membayar hutang yang ditinggalkan Li Hongli.

Selain masalah tekhnis yang menggerogoti sendi kebesaran nama Milan yang membuat tim merah hitam berubah menjadi tim medioker, juga disebabkan oleh beberapa faktor non tekhnis.

Masalah Milan saat ini dimulai dari tidak adanya lagi sosok pemimpin di tim ini, sejak Paolo Maldini memutuskan pensiun, praktis tidak ada pemain yang sanggup menggantikan peran sang legenda hidup. Pentingnya sosok kapten di tim merah hitam sudah diperlihatkan oleh Maldini, dia tidak hanya menjadi pemimpin rekan rekannya tapi dia juga mampu menjadi sang motivator di lapangan dan menjadi perpanjangan tangan sang pelatih.

Paolo tak hanya jago memovitasi namun dia juga memiliki kharisma yang membuat rekan rekannya segan dan hormat padanya, tak hanya kawan namun lawan pun menaruh rasa hormat pada sang kapten.

Beberapa tahun silam, pada sebuah pertandingan AC Milan di Serie A, salah seorang pemain Milan yaitu Gennaro Gattuso sempat bersitegang dengan pemain lawan yang hampir membuatnya gelap mata, dalam situasi itu Paolo pun datang dan melerai dan entah sihir apa yang digunakan Il Capitano  yang membuat Gattuso tiba tiba berubah menjadi kalem dan begitupun pemain lawan yang seakan akan mengakui dosa dan kesalahanya serta meminta maaf pada Paolo.

Dan dalam beberapa tahun terakhir, Milan juga seperti berubah menjadi tim individualistis, padahal sedekade yang lalu Milan kental dengan aroma rasa kekeluargaannya. Rasa yang sudah lama dibangun sejak era Arrigo Sacchi hingga Carlo Ancelotti kini sudah tak terlihat lagi, beberapa waktu lalu perkelahian antara Frank Kessie dan Lucas Biglia saat menuju ruang ganti pemain adalah contoh nyata Rossonerri tidak lagi menjadi tim panutan di Serie A. Sikap individualistis Milan juga terlihat dari para pemain saat selebrasi kemenangan, beberapa pemain seakan ingin merayakan golnya sendiri dan ingin menegaskan sosok kepahlawanannya.

Selain daripada itu, Il Diavollo Rosso juga seperti kehilangan pemain ajaib di tim mereka. Padahal Milan seperti menjadi tim yang selalu dianugrahi pemain pemain yang selalu hadir di saat yang tepat. Di dekade 90an Milan memiliki sosok penting atas nama Dejan Savicevic sepeninggal era Trio Belanda. Gol indahnya ke gawang Barcelona pada final Liga Champions musim 1993-1994 menjadi buktinya. Gol tersebut juga menjadi penanda keperkasaan Milan atas tim Catalan tersebut.

Lebih jauh ke belakang, tepatnya di era akhir 60an hadir sosok bernama Pierino Pratti, jelas nama tersebut kurang mentereng jika dibandingkan dengan nama seperti Gianni Rivera maupun Jose Altafini. Namun di final Piala Champions musim 1968-1969 kontra Ajax memperlihatkan kebintangan sang pemain, trigolnya ke gawang Ajax mengantarkan Milan menang dengan skor 4-1 dan meraih gelar eropa keduanya dan menyamai capaian gelar tim sekota mereka Inter Milan saat itu.

Dan tentu saja nama Filippo Inzaghi tak bisa dikesampingkan, dialah pemain ajaib sesungguhnya yang Milan pernah punya. Saat dirinya hanya menjadi pilihan kedua Marcello Lippi di Piala Dunia 2006 dibawah Luca Toni dan Alberto Gilardino tak membuatnya kehilangan sihir. Dia menjawabnya setahun kemudian di final Liga Champions kontra Liverpool. Disaat sang bintang Kaka tak tampil layaknya saat melibas MU di semi final, dia lalu muncul sebagai protagonis. Dua golnya ke gawang Liverpool menjadi penebusan kegagalan Milan di final dua musim sebelumnya, bahkan satu golnya terkesan ajaib karena tecipta melalui lengan kanannya hasil dari sepakan bebas Pirlo.

Jadi sejatinya nama besar klub bukan hanya ditentukan dari sebuah trofi yang menjadi barang koleksi di lemari klub tapi juga hadirnya nama nama yang bakal menjadi legenda dan mengiringi perjalanan tim itu sendiri. Sama halnya dengan Milan yang besar karena rasa solidaritas mereka dan dibangun dengan rasa kekeluargaan yang melahirkan pemain pemain hebat seperti Maldini dan Inzaghi. (IAN)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun