Aku terkepung diantara derasnya air hujan, kuyup tanpa batas..., menelusuri jalan setapak yang licin dan berlumpur, aku tidak berlari lagi sudah terlanjur basah untuk mencari tempat berteduh... ternyata aku menikmatinya... berada diantara hujaman air hujan yang menusuk masuk kemudian hancur dan meresap menembus kain hitamku, menggelitik kulit tubuhku yang menciut dingin...
Sesekali kilatan cahaya geledek menggelegar memecah kelam, aku masih terus berjalan hanyut dalam kesendirian, langkahku tidak surut...
Perlahan hujan berhenti, menyisakan gerimis, meninggalkan rasa dingin... aku diam sesaat untuk melihat kebelakang... kabut tidak menghalangi pandanganku, disanalah kampung halamanku tepat dibawah bukit yang aku daki, entahlah aku tidak berniat untuk kembali biarkan semua itu menjadi kenangan, biarkan ari-ariku terkubur disana toh aku tidak berniat untuk menggalinya kembali...
kaki-kaki kecilku pernah berlari sampai disini namun saat itu penuh dengan rasa takut dan akhirnya kembali...
aku harus mengejar mimpi tanpa beban cinta yang melankolis, tanpa harus dihantui kenangan, tanpa ragu dan rasa mesra kampung halaman... aku akan terus mendaki dan menuruni bukit menuju laut... aku akan mencari kapal dan menyebrangi samudra... aku akan berteriak pada dunia bahwa aku eksis...!!!, aku ada dan patut di perhitungkan...
hari mulai gelap... terpaksa aku harus berhenti disini diatas bukit ditengah hutan belantara, mati bisa saja beberapa detik didepan mengintaiku dengan taring-taring tajam, atau dengan kuku-kuku runcing yang siap merobek ulu hati... aku tidak takut, cuma berusaha waspada asaku masih jauh, belum... belum... beluum tergapai... biarkan aku hidup sesaat lagi...
***
Matahari berlari menuju pagi, dia sangat hangat aku menyukainya sebagai makhluk Tuhan, dia mahluk yang rendah hati, dia bersedia bertukar peran dengan Rembulan sahabatnya... tidak arogan dan mendewakan diri, aku menyapanya...
"hai... biarkan aku terjaga dengan gairah didada... dengan sinarmu yang hangat sahabat..." aku menengadah, aku tersenyum dan kembali melangkah melanjutkan petualangan...
kulit hitamku akrab dengannya, baju basahku perlahan mengering, air hujan itu menguap kembali...
aku bangga jadi anak nusantara, terlahir dari rahim ibu pertiwi... negeri yang konon kaya, negerinya para dewa dari legenda-legenda, dari cerita konon katanya... negeri dongeng dan "sasakala".
Dari legenda, dari cerita, dari dongeng dan sasakala itulah aku tertantang untuk mengembara, mencari arti dari hidup, memastikan imanku berada dalam jalur yang benar. Aku ingin mendapatkan bukti bahwa Tuhan menciptakanku bukan tanpa alasan, ada maksud, ada tujuan dan ada mafaatnya...
Aku eksis karena satu alasan... dan itu cukup untukku...
Aku hanya membawa pedang, jangan khawatir pedang itu sudah kuasah setajam dan seruncing mungkin bukan untuk menyerang tapi untuk bertahan hidup, melindungi diri dari ancaman.
Sudah saatnya aku melangkah kembali.
***
Di bawah kakiku bukanlah tanah lagi tapi air laut, ya aku sudah mulai berlayar meninggalkan matahari dibelakangku, mengelilingi nusantara yang konon multy ras, budaya, dan agama... aku akan belajar tentang toleransi dan rendah hati, meninggalkan senyum dan tangis ibuku, berbekal nasehat bapak dikepalaku.
"jadilah lelaki tangguh... jangan sarungkan pedangmu sebelum musuhmu berkalang tanah, atau benda itu sudah menjadi harta rampasan perang tidak bertuan..."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H