Mohon tunggu...
YUSEP KURNIA F
YUSEP KURNIA F Mohon Tunggu... Guru - Guru pembelajar sepanjang hayat

Pendidikan,politik, olah raga, dan hiburan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Urgensi Memulihkan Konsep Malu yang Bertanggung Jawab Dikalangan Oknum Pejabat

19 September 2024   15:00 Diperbarui: 19 September 2024   20:28 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Urgensi Memulihkan Konsep Malu yang Bertanggung Jawab dikalangan "Oknum Pejabat"
Oleh : Yusep KF*


Rasa malu merupakan emosi sosial yang telah lama dikenal sebagai salah satu penggerak utama perilaku etis. Di berbagai budaya dan masyarakat, rasa malu sering kali dikaitkan dengan kehormatan, martabat, dan tanggung jawab terhadap komunitas atau publik. Dalam ranah kehidupan sehari-hari, rasa malu bertindak sebagai rem moral yang mencegah individu melakukan perbuatan yang dianggap tidak pantas atau tidak bermoral. Namun, dalam konteks penyelenggaraan negara, rasa malu memiliki arti dan dampak yang jauh lebih luas, karena tindakan seorang pejabat tidak hanya mempengaruhi dirinya sendiri, tetapi juga citra lembaga yang diwakilinya serta kepercayaan publik yang diembannya.
Dalam catatan sejarah, banyak budaya yang menjunjung tinggi rasa malu sebagai bentuk tanggung jawab sosial. Misalnya, di Jepang, konsep "harakiri" atau bunuh diri dengan cara ritual adalah bentuk ekstrem dari rasa malu yang disertai dengan tanggung jawab. Pejabat atau prajurit yang merasa telah melakukan kesalahan besar atau mencemarkan nama baik mereka akan melakukan tindakan tersebut sebagai bentuk permintaan maaf yang tulus dan tanggung jawab penuh atas kesalahan mereka. Meski tindakan ini ekstrem dan mungkin tidak relevan di dunia modern, esensinya "bahwa rasa malu harus diiringi dengan tanggung jawab tetap relevan"
Di negara-negara Barat, terutama di Eropa, rasa malu juga diakui sebagai bagian penting dari etika publik. Di beberapa negara, seorang pejabat yang melakukan kesalahan kecil sekalipun, yang dianggap tidak sesuai dengan standar etik yang berlaku, sering kali memilih untuk mengundurkan diri dari jabatannya. Ini bukan hanya sebagai bentuk tanggung jawab pribadi, tetapi juga sebagai cara untuk menjaga integritas lembaga dan memulihkan kepercayaan publik. Contoh ini menunjukkan bagaimana rasa malu yang disertai tanggung jawab dapat memainkan peran penting dalam menjaga standar moral dan etika dalam penyelenggaraan negara.
Namun, ketika kita melihat praktik penyelenggaraan negara di Indonesia, kita mungkin akan menemukan gambaran yang berbeda. Hilangnya rasa malu di kalangan "oknum pejabat publik" menjadi fenomena yang semakin sering terlihat, dan ini membawa dampak serius terhadap kepercayaan publik serta kualitas kepemimpinan di negara ini.


Rasa Malu dan Tanggung Jawab: belajar dari Kasus dari Jepang dan Eropa
Untuk memahami bagaimana rasa malu dapat diintegrasikan dengan tanggung jawab dalam konteks kepemimpinan publik, kita bisa melihat beberapa contoh dari Jepang dan Eropa. Di Jepang, ada beberapa contoh yang terkenal tentang bagaimana pejabat tinggi mengundurkan diri karena merasa malu atas kesalahan yang terjadi di bawah kepemimpinan mereka, meskipun secara langsung mereka tidak terlibat dalam kesalahan tersebut.
Salah satu contoh yang mencolok adalah kasus Yukio Hatoyama, mantan Perdana Menteri Jepang, yang mengundurkan diri pada tahun 2010 setelah gagal memenuhi janjinya untuk memindahkan pangkalan militer AS dari Okinawa. Meskipun dia telah berusaha keras untuk menegosiasikan pemindahan pangkalan tersebut, Hatoyama merasa bahwa kegagalannya telah mencemarkan kepercayaan publik terhadap dirinya dan partainya. Alih-alih bertahan dalam jabatannya, dia memilih untuk mundur, menunjukkan bahwa dia menempatkan kehormatan dan tanggung jawab di atas ambisi politiknya.
Di Eropa, kita juga dapat menemukan berbagai contoh pejabat yang mengundurkan diri setelah melakukan kesalahan atau karena merasa malu atas kejadian tertentu. Misalnya, di Inggris, Lord Carrington mengundurkan diri dari posisinya sebagai Menteri Luar Negeri pada tahun 1982 setelah invasi Argentina ke Kepulauan Falkland. Meskipun tidak ada yang secara langsung menyalahkan Carrington atas invasi tersebut, dia merasa bahwa dirinya harus bertanggung jawab atas kegagalan pemerintah dalam mencegah krisis ini. Pengunduran diri Carrington dianggap sebagai tindakan terhormat yang menunjukkan rasa malu yang disertai dengan tanggung jawab.
Contoh-contoh ini menunjukkan bahwa rasa malu yang disertai dengan tanggung jawab dapat menjadi kekuatan positif dalam dunia politik, mendorong pejabat untuk bertindak dengan integritas dan menjaga kepercayaan publik. Namun, bagaimana dengan pejabat di Indonesia? Apakah mereka menunjukkan sikap yang serupa ketika melakukan kesalahan?


 Hilangnya Rasa Malu dan Tanggung Jawab dalam diri "oknum pejabat" di Indonesia
Ketika membandingkan situasi di Jepang dan Eropa dengan yang terjadi di Indonesia, kita mungkin akan mendapati perbedaan yang signifikan. Di Indonesia, banyak oknum pejabat yang tampaknya telah kehilangan rasa malu yang seharusnya menyertai tanggung jawab publik. Kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh pejabat, baik yang bersifat administratif, etis, maupun yang berkaitan dengan pelanggaran hukum, sering kali tidak direspon dengan tindakan yang menunjukkan rasa malu atau tanggung jawab yang memadai.
Alih-alih mengundurkan diri atau meminta maaf secara terbuka, banyak oknum pejabat yang justru berusaha untuk mempertahankan jabatannya dengan berbagai cara, termasuk dengan mencari alasan atau justifikasi atas kesalahan yang telah mereka lakukan. Beberapa bahkan menggunakan pengaruh politik dan jaringan kekuasaan mereka untuk menghindari pertanggungjawaban, yang pada akhirnya merusak kepercayaan publik terhadap institusi yang mereka wakili.
Contoh nyata dari fenomena ini adalah banyaknya kasus korupsi yang melibatkan oknum pejabat tinggi di Indonesia. Meskipun sudah terbukti melakukan tindakan yang merugikan negara, tidak sedikit dari mereka yang masih berusaha untuk tetap berada di posisi kekuasaan. Dalam beberapa kasus, pejabat yang telah dipenjara karena korupsi bahkan masih memiliki pengaruh politik yang kuat dan dapat kembali mencalonkan diri untuk jabatan publik setelah masa hukuman mereka selesai. Hal ini menunjukkan betapa lemahnya rasa malu dan tanggung jawab di kalangan oknum pejabat di Indonesia.
Lebih dari itu, hilangnya rasa malu juga tercermin dalam tindakan-tindakan yang tidak etis namun tidak dianggap serius oleh para pelakunya. Misalnya, ketika seorang pejabat terlibat dalam skandal moral atau kasus pelanggaran etika, respons yang sering kali muncul adalah pengabaian atau pembelaan diri, bukan introspeksi dan pengunduran diri. Tindakan-tindakan ini tidak hanya merusak citra pejabat itu sendiri, tetapi juga melemahkan kepercayaan publik terhadap pemerintahan secara keseluruhan.


Mengapa Rasa Malu Hilang?
Ada beberapa faktor yang dapat menjelaskan mengapa rasa malu di kalangan pejabat di Indonesia tampaknya semakin menghilang. Salah satu faktornya adalah budaya politik yang lebih mengedepankan kekuasaan dan pengaruh daripada integritas dan tanggung jawab. Dalam lingkungan politik yang sangat kompetitif dan penuh intrik, pejabat mungkin merasa bahwa mengakui kesalahan dan mundur dari jabatan adalah tanda kelemahan yang dapat dimanfaatkan oleh lawan politik mereka. Sebagai akibatnya, mereka lebih memilih untuk bertahan dan mempertahankan posisi mereka, meskipun hal ini berarti mengorbankan integritas dan kepercayaan publik.
Selain itu, sistem hukum dan penegakan etika yang lemah juga berkontribusi pada hilangnya rasa malu di kalangan pejabat. Ketika kesalahan atau pelanggaran tidak diikuti oleh sanksi yang tegas dan adil, pejabat mungkin merasa bahwa mereka bisa lolos dari tanggung jawab tanpa perlu merasa malu. Kurangnya akuntabilitas ini menciptakan budaya impunitas, di mana pejabat tidak merasa perlu untuk mempertanggungjawabkan tindakan mereka karena tidak ada konsekuensi serius yang mereka hadapi.
Faktor lain yang juga berperan adalah rendahnya kesadaran etika di kalangan sebagian pejabat. Tanpa pendidikan etika yang memadai dan tanpa adanya teladan yang baik dari para pemimpin, banyak pejabat mungkin tidak sepenuhnya memahami pentingnya rasa malu dan tanggung jawab dalam menjalankan tugas publik mereka. Akibatnya, mereka cenderung mengabaikan standar etika dan lebih fokus pada kepentingan pribadi atau kelompok mereka.

 Penutup
Rasa malu yang disertai tanggung jawab adalah fondasi penting dalam penyelenggaraan negara yang etis dan berintegritas. Di Indonesia, hilangnya rasa malu di kalangan oknum pejabat tidak hanya merusak kepercayaan publik tetapi juga mengancam kualitas kepemimpinan nasional. Oleh karena itu, upaya untuk mengembalikan rasa malu yang bertanggung jawab harus menjadi prioritas dalam reformasi politik dan pemerintahan di negara ini. Dengan menanamkan kembali nilai-nilai etika, memperkuat sistem akuntabilitas, dan menciptakan budaya politik yang lebih berintegritas, kita bisa berharap untuk melihat pejabat yang lebih bertanggung jawab, yang menempatkan kepentingan publik di atas segala-galanya dan yang tidak takut untuk mengakui kesalahan mereka demi kebaikan bersama.


*Penulis adalah Pemerhati masalah sosial yang sedang belajar menyampaikan pendapat lewat tulisan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun