Mohon tunggu...
Yusep Hendarsyah
Yusep Hendarsyah Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Kompasianer, Blogger, Bapak Dua Anak

Si Papi dari Duo KYH, sangat menyukai Kompasiana

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Komentator Bola, Kudu Ngerti Bola Gak Asal Berisik

15 April 2021   20:26 Diperbarui: 15 April 2021   20:57 1532
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Piala Menpora 2021 sering disebut dengan  turnamen pramusim sejatinya menjadi ajang pemanasan bagi seluruh klub sepak bola profesional di Indonesia. 

Ajang yang memperebutkan Piala Menteri Pemuda dan Olahraga ini bisa dikatakan sukses digelar meski taka da penonton yang hadir di stadion dikarenakan syarat yang harus dipenuhi saat pandemi covid-19 ini. 

Tapi tidak ada masalah , masyarakat luas termasuk saya sangat antusias menonton laga ini baik secara online melalui aplikasi berbayar maupun melalui layer televisi antenna UHF.

Dari pertandingan babak penyisihan, ada beberapa hal yang menjadi sorotan . Laga antara PSM dan Persija Jakarta (22/3/2021) di Stadion  Kanjuruhan, Malang  yang berkesudahan 2-0 untuk kemenangan PSM dinodai dengan adanya perlakuan rasis dari oknum supporter kepada Pemain PSM asal papu yaitu Patrich  Wanggai. 

Semua bersuara mengecam dan menolak adanya rasialis yang secara umum sering terjadi di seluruh penjuru dunia tidak hanya di Indonesia. Buntut kekalahan tim kesayangan tak perlulah sampai melakukan hate speech ujaran kebencian, membuly dan merasa sukunya lebih tinggi daripada suku lainnya dan sebagainya. Ini masih pramusim tapi Pekerjaa Rumah  sepak bola negeri ini urung tuntas, terutama masalah kedewasaan suporternya.

Laga Persija dan PSM jilid kedua pun akan berlangsung malam ini pukul 20.30  di Stadion Maguwoharjo, Sleman Jogjakarta. Kali ini bukan lagi pada babak penyisihan, melainkan sudah babak semifinal dan dipastikan menjadi seru. 

Tekad Persija membalas kekalahan di penyisihan tidak lagi bisa dibendung. Meski ini adalah pramusim , tekanan untuk menjadi pemenang  dengan segenap cara sama dengan dalam pertandingan liga resmi. Lalu siapa yang akan menjadi komentatornya?

Bagi saya, siapa yang menjadi komentator dalam setiap pertandingan tentu bukanlah menjadi persoalan. Selama dia mengerti bola, pembawaannya enak, tidak mengganggu mood penonton dengan ucapan , teriakan yang tidak perlu yang tidak ada hubungannya dengan speak bola. 

Kasus mematikan suara  (mute masal) dalam pertandngan Bali United vs PSS Sleman  bisa dijadikan contoh. Speak Bola menurut saya sudah menjadi "agama"  tersendiri  yang diyakini oleh masyarakat penggila bola di tanah air. Ketika tim kesayangannya kalah, tentu ada pelampiasan kekesalan kenapa bisa kalah sedemikian rupa. 

Dalam hal ini bisa karena faktor perangkat pertandingan (wasit, asisten wasit dan lainnya), bisa juga karena faktor internal para pemainnya yang kelelahan karena lama tidak bermain bola , bisa juga karena faktor belum turunnya bonus. 

Sungguh ada banyak faktor , makanya setiap klub speak bola professional akan mempertaruhkan 100 persen  segalanya dari persiapan teknis dan non teknis untuk menghindari kekalahan ini. Yang menjadi perhatian , kenapa ada ajakan mematikan suara televisi saat komentator Valentino sedang mengudara, apa salahnya? Apa karena terlalu lebay, berisik atau tong kosong nyaring bunyinya alias suaranya tidak enak terdengar pemirsa.

Bagi saya,  Bung Towel, Bung Adi Ahay Gunawan  atau Bung Jebret sama saja. Fokus saya sendiri kepada pertandingan tidak kepada suara si  host atau komentator. Meski berperan untuk menginformasikan sesuatu yang luput dari pandangan mata kita, peran komentator hanya pelengkap saja.

Gaya bicara Valentino Jebret memang berbeda dengan komentator bolanya. Kalau dibandingkan dengan Bung Tomi Weli (Towel) ,  Valentino sisi edukasinya kurang bahkan jauh dari informasi yang dibutuhkan para pecinta bola yang fanatik. Sesekali beliau menjadi komentator bolehlah. Kalau setiap hari pertandingan, ya penggemar bola ya pasti protes.

 Apalagi dengan kondisi tim kesayangan lagi kalah, terus suara komentator tidak meneduhkan cenderung provokasi. Mematikan suara sungguhlah dianggap sebuah kewajaran. 

Saya pun sering mematikan suara komentator Ketika menonton siaran langsung  pertandingan bola baik dalam maupun luar negeri. Sepertinya lebih bisa menikmati.

Yang jadi perhatian kedewasaan kita bukanlah siapa yang menjadi komentatornya, tapi lebih bagaimana kita menyikapi perilaku buruk  pemain di lapangan. Perilaku rasis , Kericuhan penonton, pengaturan skor  dan hal negative lainnya. 

Saya setuju Sepak Bola adalah "agama"  yang namanya agama maka isinya adalah kebaikan. Sportifitas, kejujuran , Kerjasama dan saling mendukung di saat menang, saling merangkul disaat kalah. Karena Suara komentator bukan suara tuhan , karena itu wajar bila masih diperdebatkan .

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun