Bagi saya,  Bung Towel, Bung Adi Ahay Gunawan  atau Bung Jebret sama saja. Fokus saya sendiri kepada pertandingan tidak kepada suara si  host atau komentator. Meski berperan untuk menginformasikan sesuatu yang luput dari pandangan mata kita, peran komentator hanya pelengkap saja.
Gaya bicara Valentino Jebret memang berbeda dengan komentator bolanya. Kalau dibandingkan dengan Bung Tomi Weli (Towel) , Â Valentino sisi edukasinya kurang bahkan jauh dari informasi yang dibutuhkan para pecinta bola yang fanatik. Sesekali beliau menjadi komentator bolehlah. Kalau setiap hari pertandingan, ya penggemar bola ya pasti protes.
 Apalagi dengan kondisi tim kesayangan lagi kalah, terus suara komentator tidak meneduhkan cenderung provokasi. Mematikan suara sungguhlah dianggap sebuah kewajaran.Â
Saya pun sering mematikan suara komentator Ketika menonton siaran langsung  pertandingan bola baik dalam maupun luar negeri. Sepertinya lebih bisa menikmati.
Yang jadi perhatian kedewasaan kita bukanlah siapa yang menjadi komentatornya, tapi lebih bagaimana kita menyikapi perilaku buruk  pemain di lapangan. Perilaku rasis , Kericuhan penonton, pengaturan skor  dan hal negative lainnya.Â
Saya setuju Sepak Bola adalah "agama" Â yang namanya agama maka isinya adalah kebaikan. Sportifitas, kejujuran , Kerjasama dan saling mendukung di saat menang, saling merangkul disaat kalah. Karena Suara komentator bukan suara tuhan , karena itu wajar bila masih diperdebatkan .
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H