Bagi sebagian dari kita, menguasai bahasa asing bukanlah perkara yang gampang. Jangankan untuk menguasai, niat untuk mempelajarinya saja kadang sulit untuk ditemukan.Â
Berbagai alasan mulai dari elemen-elemen linguistik yang sulit dipahami hingga keyakinan bahwa mempelajari bahasa asing sama saja dengan mencintai bangsa asing, bukan bangsa sendiri, menjadi salah satu penghambat mengapa masih banyak orang Indonesia yang belum menguasai bahasa asing, khususnya yang paling umum yaitu bahasa Inggris.Â
Hal tersebut ditunjukan oleh hasil penelitian dari Education First (EF) mengenai indeks kecakapan bahasa Inggris negara-negara di dunia. Hasilnya menunjukan bahwa Indonesia berada di peringkat 39 dengan kategori tingkat kemahiran rendah. Posisi saat ini jauh lebih buruk dari tahun sebelumnya yang menempatkan Indonesia di posisi 32 dengan kategori kemahiran menengah.
Dengan peringkat ini, Indonesia tertinggal jauh dengan negara-negara tetangga seperti Singapura yang ada di peringkat 5 dengan kategori sangat mahir, disusul dengan Malaysia di posisi 13 dan Filipina di posisi 15.Â
Dengan demikian, mau tidak mau, Indonesia harus mengejar ketertinggalan karena, menurut Minh N. Tran, Senior Director, Research & Academic Partnership of EF Education First, kecakapan bahasa Inggris suatu negara berdanding lurus dengan kesiapan negara tersebut dalam bersaing di kancah yang lebih luas.
Selain modal sebuah bangsa di persaingan global, bahasa asing pun mempunyai efek-efek kognitif dan psikologis bagi tiap-tiap orang yang mempelajarinya. Misalnnya, bahasa dapat mempengaruhi cara seseorang berpikir dan bertindak.
To have another language is to possess a second soul. Kutipan dari Charlemagne tersebut dapat diimplikasikan bahwa berbahasa asing akan membuat orang memiliki cara yang berbeda dalam menyampaikan ide-ide atau realita di sekeliling melalui bahasa yang digunakannya. Konstruksi yang berbeda di setiap bahasa menuntut seorang pembelajar untuk menjadi orang yang berbeda dengan cara pandang yang berbeda pula.Â
Sebagai ilustrasi, dalam bahasa Jerman kata apel (Der apfel) masuk ke dalam kategori maskulin sedangkan di bahasa Prancis masuk ke dalam kategori feminim (Une pomme). Hal tersebut memungkinkan adanya perbedaan yang sangat mencolok jika, misalnya, orang Jerman dan Prancis diminta untuk mendeskripsikan buah apel.Â
Orang Jerman mungkin akan mendeskripsikan kata apel dengan kata-kata yang sering diasosiasikan dengan sifat maskulin seperti kuat atau keras, sedangkan orang Prancis akan sebaliknya, menggambarkan apel dengan kata-kata feminim seperti indah atau manis.Â
Sekali pun mereka diminta untuk mendeskripsikan kata apel dalam bahasa yang tidak punya grammatical gender, seperti bahasa Inggris atau Jepang, kecenderungan untuk merepresentasikan apel sebagai kata benda yang bergender akan terus mempengaruhi mereka.
Belajar bahasa asing menuntut seseorang bukan hanya untuk mengenali struktur kebahasaannya saja, tetapi juga bagaimana cara melihat apapun berdasarkan budaya asli negara bahasa itu berasal. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Hanh Thi Nguyen and Guy Kellogg menunjukan bahwa seseorang yang mempelajari bahasa kedua dapat mengembangkan pemahaman budaya yang lebih mendalam yang didapat melalui hasil amatan stereotip budaya yang berbeda.
Selain itu, mempelajari bahasa asing juga dapat menumbuhkan rasa toleransi yang lebih tinggi pada seseorang. Hal ini ditunjukan dengan adanya tolerance of ambiguity yang tinggi pada penutur bahasa kedua. Tolerance of ambiguity adalah kemampuan untuk berurusan dan menangani situasi yang baru, membingungkan, dan tidak terprediksi.Â
Hasil studi yang dilakukan oleh Amy Thompson, University of South Florida, juga menyatakan bahwa orang dengan tolerance of ambiguity yang tinggi akan lebih toleran terhadap sekelilingnya karena mereka menganggap situasi yang baru, membingungkan, dan tidak terprediksi sebagai sesuatu yang menyenangkan, bukan menakutkan Hal tersebut juga disetujui oleh Jean-Marc Dewaele and Li Wei, ahli linguistik terapan yang juga sudah lama mempelajari tolerance of ambiguity ini.
Dengan demikian, mempelajari bahasa asing seharusnya tidak dipandang lagi sebagai kegiatan yang menyusahkan atau tidak nasionalis. Pelajaran bahasa asing bisa dijadikan sebuah cara untuk berkenalan dengan budaya lain dan memupuk nilai-nilai toleransi
Salah satu perguruan tinggi yang menawarkan program bahasa asing adalah Sekolah Tinggi Bahasa Asing (STBA) YAPARI-ABA Bandung. Berlokasi di pusat kota Bandung, sekolah bahasa asing pertama dan tertua di Indonesia ini menawarkan 4 program bahasa asing; Inggris, Jepang, Prancis, dan Jerman.Â
Bukan hanya dibekali dengan ilmu kebahasaan saja, mahasiswa STBA juga dibekali dengan pengetahuan mengenai dunia pariwisata. Selain untuk memperluas wawasan mahasiswanya, Ilmu pariwisata diberikan untuk memperkenalkan profesi yang bisa dijadikan alternatif bagi lulusan bahasa, khususnya dari STBA.
Kurikulum STBA sudah disusun dengan baik sehingga apa yang diajarkan bisa menjadi alat yang bisa menjembatani persahabatan antar bangsa melalui pertukaran budaya, pariwisata, bahasa yang dipelajari, dan generasi yang toleran.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H