Mohon tunggu...
Yusa Eko Saputro
Yusa Eko Saputro Mohon Tunggu... -

Penerima Beasiswa Pusbindiklatren Bappenas Tahun 2013 Magister Ilmu Lingkungan Universitas Diponegoro Semarang

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Memotret Sampah di Negeri Kita

23 Desember 2014   17:25 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:38 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Permasalahan sampah di negeri ini seakan seperti melewati terowongan gelap nan panjang dan tak berujung. Sampah masih dianggap sebagai sesuatu yang tak pantas dilihat dan dipikirkan. Gambaran paling mudah bisa kita temui setiap saat di jalan raya, pengemudi dan penumpang begitu entengnya membuka kaca mobil kemudian littering sampah entah itu tisu, bungkus makanan, bungkus permen, puntung rokok dll. Jika kita bepergian melewati jalan tol, cobalah tengok pemandangan sekitar gerbang pembayaran tol, bakalan tersaji ratusan tiket tol yang tersebar di empat penjuru angin. Kita juga mungkin termasuk di antara orang-orang yang tidak bisa melihat tanah kosong karena setiap ada sejengkal saja tanah kosong niscaya akan kita lempari dengan sampah. Dahulu, yang namanya jalan tikus bermakna konotasi, jalan kecil yang biasa menjadi alternatif rute ketika jalan besar dilanda macet atau sedang ada operasi polisi. Tetapi sekarang jalan tikus sudah berubah makna menjadi makna denotasi, yaitu jalan yang di atasnya terbujur bangkai tikus. Entah apa yang ada di otak orang-orang yang dengan sadar membuang bangkai tikus di jalan raya, begitu besarkah dendam mereka terhadap tikus?sehingga setelah mati pun, tikus harus menghadapi penyiksaan lindasan roda-roda kendaraan bermotor.

Sekarang, coba palingkan pandangan anda ke sungai. Sungai-sungai di perkotaan mendapat julukan supermarket mengalir. Segala macam barang ada di situ. Bungkus makanan, minuman, botol, pakaian, popok bayi sekali pakai, bantal, guling juga kasur. Bahkan ketika aliran sungai di sebelah kantor saya cukup deras karena hujan, saya pernah memergoki sebuah lemari pakaian sedang mengalir santai di antara tumpukan sampah di kanan kirinya. Pengakuan cukup mencengangkan datang dari warga di hulu sungai yang pernah saya temui. Mereka sengaja membangun bak TPS di pinggir sungai sehingga ketika tiba waktunya hujan deras, pintu bak TPS dibuka dan simsalabim, bak TPS menjadi bersih. Inilah yang namanya fenomena NIMBY (Not in My Back Yard), yang penting halaman rumah saya bersih dari sampah dan saya tidak peduli jika sampah itu hinggap di halaman rumah orang lain.

Ada satu lagi “budaya” yang cukup mengganggu, yaitu budaya membakar sampah. Bisa dikatakan sebenarnya masyarakat kebanyakan mengetahui bahwa sebenarnya membakar sampah itu menimbulkan dampak negatif, paling nggak bisa menimbulkan gangguan pernafasan, tetapi mereka tetap melakukan aktivitas ini dan menjadikannya sebagai sebuah rutinitas. Padahal jenis-jenis sampah saat ini cenderung didominasi oleh sampah sintetis kimia seperti plastik, karet, styrofoam, logam, kaca dan sebagainya sehingga jika sampah-sampah tersebut dibakar maka akan mengeluarkan gas-gas beracun yang dapat membahayakan kesehatan masyarakat yang menghirupnya dan memperburuk kualitas lingkungan udara. Misalnya hasil pembakaran sampah plastik menghasilkan gas dioxin yang mempunyai daya racun 350 kali dibandingkan asap rokok. Dioxin termasuk super racun dan bersifat karsinogenik bila masuk kedalam jaringan tubuh manusia terutama saraf dan paru-paru, sehingga dapat mengganggu sistem saraf dan pernafasan termasuk penyebab kanker.

Sudah saatnya masyarakat menyadarkan dirinya sendiri bahwa perilaku tepat menangani sampah harus mulai dilakukan setiap individu karena konsep penanganan sampah yang baik adalah penanganan sampah yang dimulai di sumber. Semakin dekat dengan sumbernya maka semakin besar rasa memiliki (sense of belonging) dan rasa tanggung jawab orang untuk mengelola sampahnya. Sumber sampah yang berasal dari masyarakat, sebaiknya dikelola oleh masyarakat yang bersangkutan agar mereka bertanggung jawab terhadap sampahya sendiri, karena jika dikelola oleh pihak lain biasanya mereka kurang bertanggung jawab bahkan cenderung destruktif. Disamping itu kemampuan pemerintah baik dari sisi manajemen dan pendanaan masih sangat terbatas sehingga jika tanggung jawab sampah hanya diserahkan pada pemerintah maka mustahil permasalahan sampah dapat terselesaikan secara baik dan berkelanjutan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun