Kerabat Puspawarna,
Do It Yourself (DIY) dalam tatanan bahasa Inggris yang kemudia diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia menjadi lakukan itu sendiri memiliki makna besar yang membentuk kepribadian baik secara personal hingga komunitas. Seiya sekata dengan apa yang menjadi arti dari DIY musik pun memiliki dinamika yang sama terbukti Yin/Yang atau Bhineka Tunggal Ika tercermin kedalam nuansa bermusik. Seingat saya Indie Label atau konsep DIY berkembang di Indonesia sekitar pertengahan tahun 90'an. Banyak grup musik saat itu kecewa (atau karena perkara ekonomi duit, duit dan duit) tidak mampu masuk kedalam kuatnya Major Label.
[caption id="attachment_166210" align="aligncenter" width="538" caption="The S.I.G.I.T Band Indie yang menjadi kiblat anak muda hari ini"][/caption]
Fenomena DIY mulai saya kenal di awal milenium setelah saya mendengar Pure Saturday (Bandung), Puppen (Bandung), Marjinal (Jakarta) dan Superman Is Dead (Bali) yang bergrelia dengan indie label saat itu. Sangat kentara dengan kualitas sound yang se-ada-nya, lagu lagu yang tidak selaras dan sejalan dengan industri musik nasional, serta dikenal sering aktif dalam aktivitas konser kelas lokal yang kadang bayar kadang tidak.
Tapi dibalik itu semua tercermin sebuah semangat minoritas yang memiliki kekuatas ultra besar dari penikmat musik yang sudah bosan dengan susahnya ber-ekspresi atas nama kebebasan dan seni (maklum industri major label menerapkan standar yang tinggi dan mementingkan pasar). Mereka menjadi fanatik dan setia karena kemungkinan adanya kesamaan nasib mengingat sebagian besar masyarakat Indonesia hidup dibawah garis kemiskinan. Mereka menghadirkan sebuah hiburan murah-meriah-enak ditengah kondisi industri musik nasional yang semakin seragam. Bahkan di negara sebesar Amerika Serikat terbukti DIY merupakan sarana perlawanan terhadap tirani yang membesar-pekat-berkarat.
Memang musik yang dibesarkan oleh konsep DIY rata-rata didominasi oleh Punk Rock, Grunge dan Heavy Metal yang sama sekali tidak mau ditampilkan di televisi nasional saat itu. Karena jenis musik seperti itu memang segmented alias hanya beberapa orang yang suka menikmati jenis musik tersebut. Tapi itu yang membuat DIY memiliki taring yang sangat tajam dikalangan remaja saat itu termasuk saya.
Tapi semakin berkembangnya jaman ternyata DIY menjadi sebuah budaya urban, banyak anak muda yang ingin meraih mimpi (atau sekadar mengkuti trend) memakai konsep indie untuk memasarkan musiknya serta banyaknya usaha sampingan berupa clothing atau jualan baju dengan disain yang sedikit nyeleneh (tengkorak-kata kasar-jari tengah) menjamur dan menjadi sebuah gaya hidup.
Tidak ada lagi kekuatan brotherhood alias kebersamaan dalam kekurangan, tidak bisa lagi menikmati konser yang kadang bayar kadang tidak atau mendengarkan sound seadanya namun tetap berkelas dan gigantik. Hari ini musik indie sudah tidak minor lagi mereka berkembang menjadi mayor dan mayor yang nampaknya akan turun kelas menjadi minor. Mungkin ini baik sebagai dinamika yang berkembang, tapi menurut saya semakin banyak yang merasa menjadi "band indie" instan semakin banyak arogansi dikalangan remaja Indonesia. Tidak ada pembelajaran, semangat kerja keras dan menghargai karya musik (tinggal cari di google.com lalu download).
Suram wajah negeri kata Marjinal, dan sepertinya memang musik indie sudah tidak minor lagi
Sedang, 15 Maret 2012
I Wayan Dirgayusa
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H