Mohon tunggu...
Yus Ibnu Yasin
Yus Ibnu Yasin Mohon Tunggu... Konsultan - Konsultan Budaya Dan Organisasi

Motivator muda Indonesia Founder Maqna Consulting Life Coach Praktisi Budaya dan Organisasi

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Growth Mindset or Die?

5 Maret 2021   11:37 Diperbarui: 5 Maret 2021   11:47 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Fenomena bukan ? bagaimana pergeseran konsumen milenial yang dirasa cukup radikal karena bisa sampai menjatuhkan sebuah produk atau industry tertentu. Contoh saja kamera digital, olah raga golf, moge Harley Davidson, televisi, album foto, camera, pesan sms, radio, cd player, departemen store hingga perpustakaan. Mungkin masih banyak lagi yang berubah, hilang bahkan tidak populis karena dampak dari perubahan yang ekstrem dan berbeda dari generasi generasi sebelumnya. Sehingga kita sering menyebut perilaku mereka sebagai Millennial disruption.

Maka fenomena memberikan sebuah dampak yang luar biasa. Lihatlah bagaimana 7 eleven, kodak, nokia dll. Dibutuhkan sebuah cara pandang baru dalam menghadapi ini semua.

Kita menyebutnya growth mindset, teori yang pernah di gaungkan oleh Carol Dweck seorang Profesor yang aktif mengajar di Stanford University, California amerika. Ia membagi dua tipe orang dilihat dari cara berfikir mereka yaitu

1. Growth Mindset

2. Fixed Mindset

Growth Mindset adalah tipe orang yang optimis, mereka cenderung berfikir positif tentang skill mereka dan mampu self repairing dengan melihat sisi kelemahan dan kekurangan dirinya. Mereka memiliki cara berfikir bahwa setiap individu adalah dinamis dan segalanya bisa berubah. Semua bisa belajar dari setiap kegagalan yang dialami. Cara pandang seperti itulah yang selalu mengarahkan mereka untuk selalu berfikir dan bertindak positif disetiap waktu dan keadaan.

Disisi lain fixed mindset adalah tipe orang yag mudah menyerah, lebih sering menyalahkan kelemahan diri, selalu berfikir dan melihat dari sisi negative, menganggap setiap jatuh adalah akhir segalanya, menganggap setiap gagal adalah nasib mereka sehingga mereka mudah putus asa, cepat mengeluh dan enggan untuk mencoba kembali.

Mungkin sahabat pernah membaca kisahnya, Cerita mengenai seorang magister psikologi yang ingin melegalkan bunuh diri karena betapa sulitnya saat itu ia mendapatkan pekerjaan, dan ia terhimpit tuntutan ekonomi.  Dan betapa kagetnya setelah saya membaca ternyata ia lulusan dari kampus terbaik dan pernah menjadi seorang dosen. Saya menyimpulkan kutipan dari Prof Renald Kasali bahwa mereka yang pintar di kelas biasanya tak pintar dalam kehidupan. Maka sebenarnya tidak adil ya kalau penilaian siswa dan mahasiswa di kelas hanya melihat dari nilai raport dan IPk

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun