Perkembangan citra diri merupakan aspek penting dalam proses pertumbuhan pribadi. Konsep diri mencerminkan pemahaman individu tentang siapa dirinya, berkembang melalui pengalaman hidup dan interaksi sosial. Dalam pembelajaran di sekolah, guru dapat memberikan pemahaman serta penerapan untuk meningkatkan konsep diri siswa dalam aspek psikologis, sosial dan emosional.
Konsep diri merupakan pandangan dan evaluasi terhadap dirinya sendiri dan mencakup berbagai aspek seperti aspek fisik, psikologis, sosial dan emosional. Hal ini termasuk menilai keyakinan, perasaan, karakteristik dan kemampuan individu. Menurut Erik Erikson, perkembangan konsep diri dapat terjadi melalui lima tahap utama :
- Trust and Mistrust (Lahir-18 Bulan)
Pada tahap ini, bati mengembangkan rasa percaya terhadap orang tua dan lingkungan. Keberhasilan dalam tahap ini menghasilkan rasa aman, sementara kegagalan dapat menyebabkan ketidakpercayaan.
- Autonomy vs Shame and Doubt (Usia 18 Bulan-3 Tahun)
Pada masa ini sampai batas-batas tertentu anak sudah bisa berdiri sendiri, dalam arti duduk, berdiri, berjalan, bermain, minum dari botol sendiri tanpa ditolong oleh orang tuanya, tetapi di pihak lain dia telah mulai memiliki rasa malu dan keraguan dalam berbuat, sehingga sering kali minta pertolongan atau persetujuan dari orang tuanya (Thahir, 2018, hlm. 36).
- Initiative vs Guilt (4-5 tahun)
Inisiatif atau rasa bersalah adalah kecenderungan yang dihadapi oleh individu pada masa prasekolah (4-5 tahun). Pada masa ini anak telah memiliki beberapa kecakapan atau keterampilan yang membuatnya terdorong untuk melakukan beberapa kegiatan. Akan tetapi karena kemampuan anak masih terbatas adakalanya dia mengalami kegagalan. Kegagalan-kegagalan tersebut menyebabkan dia memiliki perasaan bersalah, dan untuk sementara waktu dia tidak mau berinisatif atau berbuat.
- Industry vs Inferiority (6-11 tahun)
Tahap keempat ini dikatakan juga sebagai tahap laten yang terjadi pada usia sekolah dasar antara umur 6 hingga 12 tahun. Salah satu tugas yang diperlukan dalam tahap ini ialah adalah dengan mengembangkan kemampuan bekerja keras dan menghindari perasaan rasa rendah diri. Saat anak-anak berada tingkatan ini area sosialnya bertambah luas dari lingkungan keluarga merambah sampai ke sekolah, sehingga semua aspek memiliki peran, misalnya orang tua harus selalu mendorong, guru harus memberi perhatian, teman harus menerima kehadirannya, dan lain sebagainya.
- Identity vs Identity Confusion (12-20 tahun)
Tahap kelima merupakan tahap adolesen (remaja), yang dimulai pada saat masa puber dan berakhir pada usia 18 atau 20 tahun. Masa Remaja ditandai dengan adanya kecenderungan identitas dan kebingungan identitas. Para remaja mengalami krisis identitas sebagai salah satu bentuk dari persiapannya untuk menjadi dewasa. Mereka biasanya akan mulai mengasa kemampuan dan kecakapan-kecakapan untuk membentuk dan memperlihatkan identitas diri, ciri-ciri yang khas dari dirinya.
- Intimacy vs Isolation (21-40)
Jenjang ini menurut Erikson adalah ingin mencapai kedekatan dengan orang lain dan berusaha menghindar dari sikap menyendiri. Periode diperlihatkan dengan adanya hubungan spesial dengan orang lain yang biasanya disebut dengan istilah pacaran guna memperlihatkan dan mencapai kelekatan dan kedekatan dengan orang lain. Di mana muatan pemahaman dalam kedekatan dengan orang lain mengandung arti adanya kerja sama yang terjalin dengan orang lain.
- Generativity vs Stagnation (41-65 tahun)
Masa dewasa (dewasa tengah) berada pada tahap ke tujuh, dan ditempati oleh orang-orang yang berusia sekitar 30 hingga 60 tahun. Masa Dewasa (Adulthood) ditandai adanya kecenderungan generativitas atau stagnansi. Sesuai dengan namanya masa dewasa, pada tahap ini individu telah mencapai puncak dari perkembangan segala kemampuannya. Pengetahuannya cukup luas, kecakapannya cukup banyak, sehingga perkembangan individu sangat pesat.
- Ego Integrity vs Despair (65 tahun ke atas)
Tahap terakhir dalam teori perkembangan Erikson disebut dengan tahap usia senja yang diduduki oleh orang-orang yang berusia sekitar 60 atau 65 ke atas. Masa hari tua (Senescence) ditandai adanya kecenderungan antara integritas melawan keputusasaan. Pada masa ini individu telah memiliki kesatuan atau intregitas pribadi, semua yang telah dikaji dan didalaminya telah menjadi milik pribadinya.
Fungsi konsep diri dapat kita ketahui, antara lain :
1. Membangun Hubungan Sosial yang Baik Citra diri yang baik dapat mempengaruhi hubungan seseorang dengan lingkungan sosialnya. Orang yang memiliki citra diri positif cenderung memiliki hubungan dekat dan harmonis dengan orang lain.
2. Menerima kelebihan dan kekurangan diri Konsep diri yang baik membuat individu bisa menerima kelebihan dan kekurangannya sendiri. Hal ini meningkatkan kesadaran diri individu dan membantu mereka berkembang lebih efektif.
3. Mengarahkan Perilaku, Konsep diri berperan penting dalam menentukan dan mengendalikan perilaku individu.Orang dengan konsep diri positif cenderung berperilaku lebih positif dan optimis, sedangkan orang dengan konsep diri negative mungkin mengalami kesulitan dalam bersosialisasi dan mencapai tujuan hidup.
4. Mengembangkan Kepribadian, Citra diri merupakan bagian penting dalam perkembangan kepribadian seseorang. Orang dengan citra diri positif cenderung memiliki kepribadian yang lebih stabil dan berkembang menjadi pribadi yang lebih baik.
5. Memotivasi Tingkah Laku, Konsep diri juga memotivasi perilaku individu Orang yang memiliki ekspektasi tinggi terhadap dirinya sendiri cenderung sukses dalam mencapai tujuan hidupnya, sedangkan orang yang memiliki ekspektasi rendah kemungkinan besar akan gagal.
6. Mengintegrasikan Kepribadian, Konsep diri merupakan bagian penting dalam mengintegrasikan kepribadian seseorang. Hal ini membantu individu membentuk Gambaran yang lebih komprehensif tentang dirinya, termasuk aspek fisik, psikologis, dan sosial.
Dengan meningkatkan konsep diri yang baik dan stabil, perlu diketahui adanya pengaruh konsep diri bagi siswa adalah sebagai berikut :Â
- Meningkatkan Kesehatan Mental
Individu dengan konsep diri yang sehat cenderung memiliki tingkat stres, kecemasan, dan depresi yang lebih rendah. Mereka lebih mampu mengelola emosi dan memiliki kesejahteraan emosional yang lebih baik
- Motivasi dan Pencapaian
 Konsep diri yang positif berfungsi sebagai pendorong untuk menetapkan tujuan ambisius dan mengejar pencapaian. Individu ini lebih berani mengambil risiko dan menghadapi tantangan
- Hubungan Sosial yang Lebih Baik
Mereka cenderung membangun hubungan interpersonal yang sehat, karena merasa nyaman dengan diri sendiri dan dapat menghargai orang lain. Hal ini meningkatkan keterampilan komunikasi dan kolaborasi
- Resilience (Ketahanan)
Individu dengan konsep diri yang sehat lebih mampu bangkit dari kegagalan atau kesulitan, berkat keyakinan bahwa mereka dapat mengatasi rintangan
- Kepuasan Hidup
Secara keseluruhan, konsep diri yang sehat berkontribusi pada kepuasan hidup yang lebih tinggi, karena individu merasa lebih terhubung dengan diri mereka sendiri dan lingkungan social mereka
Hubungan antara Konsep diri dan prestasi sekolah dapat memengaruhi prestasi belajar siswa dan dapat meningkatkan minat siswa dalam mengembangkan dirinya, beberapa dampak positif dari konsep diri terhadap belajar siswa antara lain :
Pengaruh Positif Konsep Diri terhadap Prestasi Belajar
1. Korelasi Positif: Penelitian menunjukkan adanya korelasi positif antara konsep diri dan prestasi belajar. Siswa dengan konsep diri yang tinggi cenderung menunjukkan prestasi akademik yang lebih baik. Sebagai contoh, penelitian di SMP Negeri 2 O’o’u menemukan bahwa kontribusi konsep diri terhadap prestasi belajar siswa mencapai 38,44%.
2. Motivasi dan Kepercayaan Diri: Siswa yang memiliki konsep diri positif lebih termotivasi untuk belajar dan percaya pada kemampuan mereka untuk mencapai tujuan akademik. Mereka lebih bersedia mengambil inisiatif dalam belajar dan menerima umpan balik untuk perbaikan diri.
Selain dampak positif, terdapat adanya dampak negatif dari konsep diri bagi siswa, yaitu :Â
Dampak Konsep Diri Negatif
1. Rendahnya Prestasi: Sebaliknya, siswa dengan konsep diri negative cenderung kurang percaya diri, mudah putus asa, dan kurang berorientasi pada prestasi. Hal ini dapat mengakibatkan rendahnya motivasi untuk belajar dan pencapaian akademik yang buruk.
2. Persepsi Diri yang Buruk: Siswa dengan konsep diri negatif sering kali merasa tidak mampu dan tidak kompeten, yang berdampak pada cara mereka berinteraksi dengan lingkungan akademik.
Adanya dampak positif dan negatif ini dapat menjadi sebuah pertimbangan bagi orang tua dalam mengembangkan dan mengenali konsep diri anaknya ketika beraktivitas di rumah, terdapat beberapa upaya yang dapat dilakukan oleh orang tua adalah sebagai berikut :
- Faktor MediasiÂ
Konsep diri berfungsi sebagai faktor mediasi dalam pencapaian prestasi akademik. Siswa dengan motivasi tinggi untuk mencapai prestasi akademik cenderung memiliki konsep diri yang positif, sedangkan mereka yang kehilangan motivasi dapat mengembangkan konsep diri negatif, yang pada gilirannya memengaruhi prestasi mereka.Â
- Pola Asuh yang Positif:
Pola asuh yang diterapkan orang tua memiliki dampak besarterhadap pembentukan konsep diri anak. Ketika orang tua menggunakan pendekatan yang mendukung, seperti memberikan pujian yang spesifik, menerima anak apa adanya, dan menunjukkan kasih sayang tanpa syarat, anak akan mengembangkan konsep diri yang positif.
- Model Perilaku:
Orang tua berfungsi sebagai model perilaku bagi anak. Anak belajar banyak dari pengamatan terhadap perilaku orang tua. Dengan menunjukkan sikap positif, seperti menghargai diri sendiri dan mengelola emosi dengan baik, orang tua dapat menginspirasi anak untuk mengembangkan konsep diri yang sehat.
- Komunikasi TerbukaÂ
Membangun komunikasi yang terbuka antara orang tua dan anak juga penting. Dengan menjadi teman bicara, orang tua dapat membantu anak mengatasi masalah dan membangun kelekatan emosional, yang berkontribusi pada perkembangan konsep diri mereka.
Selain peran dari orang tua yang merupakan pendidikan awal oleh anak, peran guru di sekolah dalam membentuk konsep diri siswa juga sangat berpengaruh, berikut beberapa peran dari guru untuk mengembangkan konsep diri siswa yaitu sebagai berikut :Â
- Lingkungan Belajar yang Mendukung:
Guru dapat menciptakan lingkungan belajar yang positif dan inklusif di sekolah. Dengan memberikan dukungan emosional dan
akademik kepada siswa, guru membantu mereka merasa dihargai dan berharga.
- Pendekatan Individual:
Mengidentifikasi kebutuhan individu siswa dan memberikan perhatian khusus kepada mereka yang mungkin mengalami kesulitan dalam belajar atau berinteraksi sosial dapat membantu meningkatkan konsep diri mereka. Guru perlu mengenali potensi setiap siswa dan memberi umpan balik konstruktif.
- Pengembangan Keterampilan Sosial:
Melalui kegiatan kelompok dan interaksi sosial di kelas, guru dapat membantu siswa mengembangkan keterampilan sosial yang penting untuk membangun hubungan positif dengan teman sebaya, yang juga berkontribusi pada pembentukan konsep diri.
Dalam hal ini, pengaruh konsep diri sangat berpengaruh bagi pendidikan terutama bagi siswa. Dalam menerapkan konsep diri yang baik, siswa dapat mengatur kesejahteraan emosionalnya dan dapat menghadapi tantangan sosial di dunia pendidikan maupun masyarakat. Selain itu, siswa dengan konsep diri yang sehat cenderung memiliki motivasi belajar yang lebih tinggi, sehingga dapat meningkatkan prestasi akademik.  Pendidikan tidak hanya fokus pada aspek akademik tetapi juga pada pengembangan karakter siswa. Oleh karena itu, menerapkan konsep diri yang positif dapat membantu siswa menjadi  individu yang mandiri, optimis, dan mampu berkontribusi secara positif kepada masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H