Kita seharusnya menertawakan kebenaran dan bersimpati juga berempati terhadap kesalahan atau kekeliruan sehingga masyarakat tidak malu jika telah melakukan kesalahan. Dengan demikian mereka akan berani memperbaiki kemampuan diri bukan malah melawan dan mempertahankan pendapat agar tidak malu atau kehilangan muka.
Literasi sangatlah diperlukan dan diperdalam. Namun, karena adanya penutupan paksa kran ilmu pengetahuan oleh golongan tertentu dan diamnya simbol gudang ilmu pengetahuan (perpustakaan), maka tak heran kalau masih banyak masyarakat yang belum tercerahkan. Apalagi, jika perpustakaan terutama perpusna hanya melakukan kewajiban administrasi yang tak ubahnya menjaga seorang perempuan tua agar tidak roboh ketika berdiri.
Lantas, jadilah perpustakaan nasional sebagai seorang perempuan yang awet muda sebagaimana aktris-aktris yang masih memperlihatkan kecantikan luar biasa diumur yang tak lagi muda. Dan ia pasti berolahraga, melakukan perawatan alami yang terus memperbarui sel darah marah agar tak cepat menua. Perpustakaan harus sensitif dan berlari kesana-kemari, memberikan berbagai referensi mengenai bacaan bagus, giat mengumbar diri ke media massa dan lain sebagainya agar tindakan razia buku tidak terjadi lagi.
Dan yang penting menggandeng erat kepada lapak sederhana yang semangat untuk menyebarkan literasi karena ada insiden razia Vespa Literasi. Ayolah perpustakaan nasional jangan hanya diam. Jangan karena terlalu bangga gedung tinggimu lantas mengacuhkan pejuang-pejuang literasi itu! Kalau demikian terus seperti itu, fungsi kalian ada itu untuk apa?! Ada untuk dilupakan?