Mohon tunggu...
Akhmad Faishal
Akhmad Faishal Mohon Tunggu... Administrasi - Suka nonton Film (Streaming)

Seorang pembaca buku sastra (dan suasana sekitar) yang masih amatiran.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Bagaimana Bila Kita Menghapus Sistem di Sekolah?

3 Agustus 2019   09:06 Diperbarui: 3 Agustus 2019   09:21 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rasanya sekolah menjadi sesuatu yang tidak penting lagi. Jenjang tahapan juga tidak perlu kita lalui. Seorang anak kecil juga akan sendirinya beranjak dewasa tanpa perlu belajar mata pelajaran di sekolah. Cukup CALISTUNG, mereka dapat memasuki dunia yang mereka inginkan. Tanpa paksaan tentunya.

Dulu, cita-cita paling banter ialah menjadi dokter. Sekarang, sayup-sayup terdengar anak-anak generasi Alpha dan Betha memilih untuk menjadi seorang vlogger. Youtuber dan sejenisnya. Hiburan menjadi pilihan. 

Om Deddy pernah mengatakan bahwa seharusnya murid tak perlu mendongkrak nilai yang dianggap menurun, melainkan belajar fokuslah pada nilai yang terlihat tinggi. Artinya, jika nilai matematika enam dan bahasa tujuh atau delapan, maka tingkatkanlah mata pelajaran bahasa. Karena, disitulah ia unggul.

Albert Einstein unggul dalam bidang Matematika dan Fisika, tetapi ia kurang dalam mata pelajaran bahasa dan filsafat. Ia tidak diterima dalam sebuah universitas, lalu suatu waktu ia diloloskan begitu tahu ia sangat unggul dan memuaskan dalam kedua mata pelajaran tersebut. Setahun berikutnya, ia lolos memasuki universitas tersebut tanpa perlu mengikuti ujian lagi.

Namun, di Indonesia sistem tidak berjalan luwes seperti itu. Semua nilai harus baik, jika ingin lulus. Standar hidup dalam masyarakat. Wajib belajar dua belas tahun. Nah, belajar tentu tidak di sekolah, dong? Wajib belajar, bukan wajib sekolah. 

Memang, seberapa penting kehidupan sekolah pada saat ini, manakala kehidupan semakin kompleks dan konflik justru tidak berkurang (walau hidup penuh masalah dan konflik). Kesenjangan pun juga tidak berubah, alam pun semakin terkikis dengan kehidupan modern yang berubah, termakan, oleh teknologi.

Anak-anak menjadi lebih dewasa sebelum waktunya, seiring perkembangan teknologi (bukan zaman). Penyebaran informasi terlalu masif untuk dapat dibatasi. 

Sekolah dengan jumlah murid yang banyak pun belum tentu memiliki lulusan yang alumninya bagus-bagus. Budaya bergeser. Banyak yang melakukan hubungan biologis secara berlebihan. Berciuman bibir sampai berujung pada seks bebas.

Sepertinya, mereka terpenjara dalam aktivitas di sekolah. Belajar ternyata begitu jenuh hingga mereka memilih pelarian seperti itu untuk menghilangkan stress. Tawuran antar pelajar nampaknya juga begitu. 

Energi mereka diredam dengan paksa dan keluar sewaktu-waktu seperti bom dengan tanpa arahan yang jelas. Rupanya, revolusi mental dari pak Joko Widodo gagal total.

Jam belajar yang panjang mulai jam setengah tujuh sampai dengan jam dua siang hingga jam setengah empat sore tak cukup ampuh. Pelajaran akhlak pun rasanya kurang mantab, mengingat hiburan di luar sekolah begitu masifnya. 

Terbuka dan menarik. Bagaimana bila belajar akhlak, tetapi hiburan di luar begitu gencar. Apabila mereka kedapatan melakukan tindakan penyelewengan di luar sekolah, lantas apa yang mereka pelajari di dalam sekolah?

Kita harus merubah konsep belajar, karena sejak kelas satu kita difokuskan pada pelajaran akademik dan bukan tentang attitude. Pelajaran yang menyenangkan itu dapat kita jalani selama enam bulan saja, belajar mengantri, toleransi, dan hal-hal sepele yang dapat menjadi blunder di masa depan. Termasuk kejujuran, yang tidak dimiliki oleh para oknum KKN. 

Jujur untuk kepentingan umum dan bukan kebohongan yang digunakan untuk kepentingan pribadi. Anak-anak itu juga harus diajari tentang menghormati hak-hak pribadi. Rahasia pribadi dan lain sebagainya. Juga pengetahuan seks sejak dini.

Mereka tidak harus melulu direcoki dengan matematika, bahasa dan lain sebagainya. Setelah enam bulan, memasuki kelas dua. Tahapan yang lebih tinggi. Dan seterusnya begitu sampai mereka begitu matang untuk mempelajari hal-hal sulit. 

Terlebih, mereka tidak perlu belajar dengan tekun mata pelajaran yang tak mereka kuasai. Guru hanya mengajar satu mata pelajaran dan selama dua belas tahun, para murid harus menguasai hampir sepuluh mata pelajaran. Tentu, mereka akan kesulitan menempatkan porsi mata pelajaran di otaknya. Sangat tidak adil sejak mereka bersekolah.

Bahkan, B.J Habibie pun sewaktu membuat pesawat N-250 Gatot Kaca tidak memikirkan biologi atau ekonomi. Ia merancang dan memikirkan dengan mata pelajaran matematika serta fisika. Pernah suatu ketika penulis diberitahu bahwa sistem belajar sekolah kita bentuknya spiral dan bukan garis lurus, mata pelajaran terus diulangi dan sedikit demi sedikit kesulitan bertambah. 

Padahal, mereka harus lulus dengan mendapatkan nilai baik dengan bab di buku pelajaran mereka total sejumlah hampir dua puluh lima bab. Dan itu baru satu mata pelajaran, bagaimana dengan tujuh mata pelajaran lainnya?

Tidak salah mereka mencontek atau membuat sistem curang cara mereka sendiri. Menguasai semua mata pelajaran akan sangat berhasil, bila mereka tidak perlu memikirkan hiburan yang menjadi dunianya. 

Cukup fokus dengan belajar di sekolah dan itu akan berhasil, tetapi apakah harus begitu? Ki Hajar Dewantara saja mengatakan sekolah sebagai taman siswa dan bukan penjara siswa.

Ketakutan akan selesainya sekolah bukanlah sebuah kewajaran. Untuk apa takut bila kita memiliki niat untuk menjadi apa nantinya. Banyak kisah yang tersebar dipelbagai platform internet. Search, kisah-kisah motivasi dari cerita nyata para penulisnya. Nah, lantas apa yang perlu dibenahi dari sekolah?

Role model!

Sekolah tidak memberikan gambaran mengenai bagaimana murid-murid di masa depan sejak awal. Mereka tidak dibertahu bahwa ada profesi sebagai penulis, sutradara, pemain film, dokter, insinyur, penambang dan semacamnya. 

Sekolah tidak melihat secara subyektif, melainkan obyektif, karena jumlah murid begitu banyak dan guru mungkin kewalahan jika harus memperhatikan satu per satu. Padahal, disitulah tempat orang tua menitipkan anaknya dan para guru merupakan sebagai penggantinya.

Dan ini memang harus dibenahi dari sekarang! Sekedar wacana dan tidak melihat penyebab masalah secara terang benderang, maka dapat mengeluarkan solusi yang kurang mantab. 

Nah, marilah membuat role model sekolah dan sediakah untuk menjadikan anak-anak sebagai bahan percobaan itu? Revolusi mental bukan solusi, revolusi sistem pendidikan merupakan solusi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun