Mohon tunggu...
Akhmad Faishal
Akhmad Faishal Mohon Tunggu... Administrasi - Suka nonton Film (Streaming)

Seorang pembaca buku sastra (dan suasana sekitar) yang masih amatiran.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Analisis yang Tanggung dalam Sebuah Esai

14 Maret 2018   11:09 Diperbarui: 14 Maret 2018   11:13 319
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terus terang penulis merasa bangga dan takjub terhadap serial komik kartun Detective Conan (Sinichi Kudo). Seorang tokoh animasi yang digarap oleh Aoyama Gosho sejak kemunculan pertama kalinya pada tahun 1994 di Jepang. Garapannya yang menarik dan menguraikan masalah beserta analisis tajamnya untuk mengungkap siapa pelaku telah membuatnya terkenal seantero bumi. Itu sungguh hebat dan bagaimana tidak hebat, sekarang serial komik Detective Conan sudah sampai pada episode ke-1000-nya.

Dan sejak 23 tahun lalu sampai saat ini telah mampu mengungkap ratusan pelaku baik kejahatan, semi kejahatan atau non-kejahatan. Conan---yang juga tubuh kecil dari Sinichi Kudo---dan tentu saja Aoyama Gosho---menggunakan detail analisis yang demikian kompleks, mulai hulu hingga hilir, memperjelas aspek yang belum jelas. Lalu, hal itu juga didukung dengan penemuan bukti konkret atau menjebak pelaku untuk mengatakan hal sebenarnya apabila bukti yang dipunyainya dirasa kurang kuat. Memang, ada beberapa dalam serial komik itu ada tokoh yang belum tertangkap atau belum diungkapkan seperti dalang dibalik kelompok baju hitam. Namun, telah diungkapkan oleh Aoyama siapa dalangnya menginjak episode ke seribunya ini.

Dengan analisis tajam yang mengarah pada pelaku disertai bukti kuat yang membuatnya tertunduk tak mampu membalikkan keadaan, Conan---tentu saja Sinichi---membuat kita puas untuk menyaksikan pertunjukan analisis. Terlebih, dia tak berlindung dalam sebuah hadist, "Dan barang siapa yang menutupi (aib) seorang muslim, maka Allah akan menutupi (aibnya) di dunia dan akhirat". Itu hadist sahih dari HR Tirmidzi yang banyak dikutip oleh para mubaligh, mengingat banyak kejadian buruk yang menimpa atau sedang dilakukan oleh kenalan mereka.

Dan menurut penulis, hadist tersebut ditujukan pada mereka yang tanpa sengaja melakukan sesuatu yang salah. Bukan karena sengaja, atau pura-pura tidak sengaja melakukan sesuatu yang keliru (salah). Oleh sebab itu, tak perlu ragu jika kenalan atau sahabat melakukan tindakan kejahatan dan memang pantas untuk diungkapkan.

Nah, mengenai hal itu ada tulisan yang menarik pada Jawapos hari Jum'at (23/2). Yakni, tulisan Choirul Anam yakni "Pada 1998, Ninja Dulu, Baru Orang Gila" dan Munawir Aziz "Teror Kiai dan Politik Kecemasan". Dua-duanya menulis dengan argumentasi yang bagus, dibangun melalui pengalaman pribadi penulis dan analisa pada kejadian-kejadian sekarang ini lalu dihubungkan dengan rekam jejak kejadian di masa lalu. Tapi, dari segi kesimpulan dan bagian-bagian terakhir tulisan mereka salah satunya tidak memberikan kepuasan setelah membacanya.

Yaitu tulisan Choirul Anam, karena pada tulisannya terdapat poin dimana ia tidak mengungkapkan siapa sesungguhnya pelaku kejahatan itu. Tentu, ini sama seperti tokoh atau pejabat publik yang telah memberikan analisis kuat, berbicara panjang lebar tapi ternyata pada bagian akhir menggantung. Ia tidak mengungkapkan dengan jelas apa buktinya, siapa pelaku dan sebagainya. Menurut penulis, ini membuat publik kecewa lantaran ingin tahu juga siapa sesungguhnya pelakunya.

Adapun Choirul Anam tidak mengungkapkan pelaku walau dengan serta merta menulis panjang lebar dengan akhiran kolom yang klise itu. Karena, pertama menurutnya tidak pas jika diungkapkan di dalam kolom media koran karena masih ada lembaga yang berhak mengetahuinya dan mengumumkan. Kedua, mungkin juga diwanti-wanti untuk berhati-hati dalam menulis apalagi terkait nama pelaku, karena kenal baik, takut karma, atau yang lainnya, walau tak disangka tetap juga keceplosan dalam penulisannya. Ketiga, mungkin karena kejadian itu sudah lama dan selesai sehingga tak baik membicarakannya, terlebih jika si pelaku sesungguhnya atau otak dalang kejahatan tersebut telah meninggal.

Anehnya, mengapa ia harus mengungkapkannya, kejadian beserta pelaku yang tak ingin ia ungkapkan? Jika hanya sekedar analisis ya analisiskan saja tanpa perlu menjurus dan berakhiran pada kesimpulan yang menggantung seperti itu. Padahal tulisan semacam itu telah memberikan fokus perhatian saat membaca, karena analisisnya menarik, mampu membawa ke sebuah akhiran tulisan yang utuh. Kejadian, alur juga pelakunya. Namun, ternyata yang terjadi, dia malah menggantungkan. Tentu sangat mengesalkan, seperti perlahan-lahan menguapnya kasus Novel Baswedan.

Berbeda dengan Munawir Aziz yang secara lugas menjelaskan bahwa ada sekolompok Naga Hijau---dicetuskan oleh Gus Dur (Alm. KH Abdurrahman Wahid)---ketika sang kyai berebut tahta pimpinan PBNU dengan Abu Hasan (dikatakan mendapat dukungan Orde Baru). Dan terang-terangan bahwa pelaku tersebut ialah Rezim Orba yang tak lain Soeharto dan kroninya agar para Kiai NU dapat diatur-atur.

Pribadi Gus Dur merupakan pribadi yang ceplas-ceplos jujur apadanya dalam mengungkapkan analisis beserta pelakunya. Gus Dur bisa sangat sarkasme saat menganalisis lalu menyimpulkan sesuatu. Suatu kelompok (dalam video di Youtube) pernah ia sebut dengan, maaf, Bajingan. Tokoh kelompok tersebut juga membalas dengan mengejek fisik, maaf, buta mata, dan buta hati. Dan kalaupun ini berlindung pada hadist tentang aib, maka setidaknya penulis telah memberikan petunjuk yang jelas dan berbeda dengan Choirul Anam.

Kalau tak diungkapkan dan terlebih pihak penegak hukum tak berani mengungkap pelaku dengan nama-nama yang disodorkan. Maka, tentu tak ada sanksi sosial yang berarti. Untuk apa analisa yang tanggung itu dipublish jika tak ingin mengungkap? Ini seperti tulisan dalam kolom Wednesday  Azrul Ananda, berjudul "Tiga Persen Terakhir". Pada kolomnya yang ke 136-nya, ia mengeluhkan dan bahkan bertanya, apakah di Indonesia ini kita memang ditakdirkan untuk 97 persen? Selalu tidak mampu megejar 3 persen itu?

Oleh sebab itu, ungkapkan saja realitanya bagaimana, sekeras apapun tak masalah. Toh, kita juga jengah pada pelaku yang berulang-ulang melakukan aktivitas negatif karena tak ada sanksi sosial yang berarti. Biar kita menilai sendiri, baik dan buruknya, karena apa ia menyerang dan karena apa ia diserang? Kalau hanya sindiran berupa analisa yang tanggung, lebih baik tidak usah berucap dan jelaskan dengan cara yang biasa saja tanpa perlu menarik perhatian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun