Mohon tunggu...
Akhmad Faishal
Akhmad Faishal Mohon Tunggu... Administrasi - Suka nonton Film (Streaming)

Seorang pembaca buku sastra (dan suasana sekitar) yang masih amatiran.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Modernisasi Tanpa Aturan

6 Agustus 2017   09:44 Diperbarui: 6 Agustus 2017   09:50 732
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pola hidup kaya dan mapan sudah menjadi impian bagi khalayak/ masyarakat sekarang (modern). Para artis dan orang-orang terkenal yang diekspos oleh media sudah menjadi makanan sehari-hari masyarakat kalangan menengah ke bawah. Bagaimana glamor kehidupan para komedian, aktris/ aktor, seniman dan segala sesuatunya ditunjukkan secara berlebihan tanpa memberikan feed back bahwa mereka melakukan ini semua dengan kerja keras. Masih ingat pernikahan mewah Raffi Ahmad-Nagita Slavina dan kelahiran anak Anang H- Ashanty? Media heboh dan menampilkan secara live serta tanpa jeda. Apa untungnya bagi masyarakat? Selain para orang tua berharap pernikahan anaknya seperti mereka.

Mungkin tidak hanya itu, selain pemberitaan dari dunia entertainment juga ada pemberitaan tentang korupsi. Masyarakat yang terpengaruh "enaknya ya jadi mereka, korupsi di penjara cuma berapa tahun. Senyum mengembang. Cuma modal ngomong doang" ternyata tidak melihat aturan-aturan yang berlaku. Ada aturan-aturan yang sengaja dibuat namun karena ngebet ingin mendapatkan sesuatu, semuanya di terabas, urusan birokrasi belakangan. Nanti diurus. Dalam film Habibie-Ainun, anda dapat melihat bagaimana paniknya seorang B.J Habibie ingin segera diterbangkan istrinya ke Jerman perihal peralatan disana lebih modern dan yang penting berangkat dulu. Masyarakat juga ingin seperti itu.

Aturan (Norma dan UU) dibuat agar masyarakat dapat berjalan damai, aman dan tentram. Namun, banyak dari kita seringkali mengabaikan aturan karena pribadinya, atau kepentingan atau karena kebudayaan yang berubah akibat pengaruh dari luar lingkungannya sehingga menciptakan konflik. Soerjono soejanto menjelaskan ada beberapa tahapan mengapa masyarakat dapat mencapai konflik sampai berujung pada kekerasan, yakni kompetisi lalu kontravensi dan terakhir konflik (2014). Jika konflik tidak dapat dikelola dengan baik, maka yang terjadi adalah kekerasan dengan korbannya yang lemah dan tidak siap.

Jika menganut pada teori konflik Marxis, teori tersebut melihat konflik sosial terjadi karena ketidasetaraan ekonomi. Pencurian berujung pembunuhan alm. Italia Chandra (12/6), pembunuhan keluarga di Medan (9/4), perampokan berujung pembunuhan Davidson (9/6) merupakan konflik yang dilatar belakangi ekonomi kemudian menjurus pada kekerasan dengan berakhir hilangnya nyawa. Hal-hal lain dapat ditemukan di media sosial yang pada intinya mereka melakukan dengan faktor ekonomi. Kaya dengan cara yang cepat.

Mega korupsi 2,3 Triliun yang sekarang diberitakan dan pemberitaan-pemberitaan korupsi sebelumnya jelas merupakan bentuk pola pembelajaran (negatif) yang ampuh. Hal ini menjadi contoh buruk masyarakat, untuk apa aturan jika aturan itu tidak dijalani dengan baik? Alm. Nurcholish Madjid bahkan sampai mengatakan kita bernegara ini tujuannya untuk apa? Tidak heran juga (walau kesal penulis setuju) Fahri Hamzah sampai mengatakan apa prestasi KPK selama ini, jika korupsi makin banyak?

Perlunya pembelajaran yang baik dari atas, sosialisasi adalah proses belajar nilai dan norma agar dapat diterima oleh masyarakat. Sedangkan, proses sosialisasi nilai dan norma yang dipertontonkan media adalah nilai dan norma yang menyimpang. Seperti contoh, dalam suatu acara talk show, Perppu ormas dianggap bertabrakan dengan UU, disisi lain Perppu tentang ormas ini untuk menyingkat waktu punishment yang diberikan oleh pemerintah karena dalam UU prosesnya lama. Masyarakat akan belajar, bahwa cara pemerintah juga terkadang untuk situasi darurat aturan-aturan yang berlaku ternyata tidak diindahkan. Buat aturan lagi untuk mendukung tujuannya.

Nilai dan norma yang dulu dibentuk, dirubah sedemikian rupa dan terkadang dijalani dengan cara yang tidak bertanggung jawab. Anda masih ingat dengan surat terbuka Nurmillaty seorang siswa SMA yang menulis surat kepada mantan menteri pendidikan M. Nuh pada tahun 2014 silam? Disitu dia menulis bahwa aturan dalam ujian jelas tidak diperbolehkan mencontek (sebuah pelajaran sejak SD) tapi pada kenyataannya tidak demikian.

Jika, pola kehidupan sosial yang demikian berjalan secara terus-menerus, maka di masa depan hanya akan ada saling salah-menyalahkan. Dengan demikian, penulis bertanya apa ada UU-nya yang salah? Jika salah, lalu dimana salahnya? Apa bagian yang seharusnya diperbaiki? Kompetisi yang tidak sehat akan menyebabkan konflik. Konfik merupakan suatu proses sosial dimana individu atau kelompok berusaha untuk memenuhi tujuannya dengan jalan menantang pihak lawan yang disertai dengan ancaman dan/ atau kekerasan (Soekanto, S. 2014 :90). Fase pertama sudah kita lewati dengan tidak adanya kesadaran dan ketetapan diri dalam menaati aturan (hilangnya aturan), dapat dilihat perihal cek cok koalisi pejalan kaki dengan tukang ojek (17/7).

Fase kedua, sedang kita lewati dengan kejujuran dan tanggung jawab yang diuji dalam kasus Mega korupsi e-ktp sebesar 2,3 Triliun. Sebegitu besar nafsu para penyelenggara proyek e-ktp untuk ingin hidup senang dan bahagia di hari tua? Dan fase ketiga yang nanti akan kita lewati, sampai disini penulis tidak dapat meramalkan karena secara sosiologi itu bertentangan dengan prinsip yakni kami tidak berspekulasi. Jika penulis meramalkan, artinya penulis melanggar norma yang berlaku dan ini bukan merupakan pembelajaran baik di masa kini dan mendatang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun