Mohon tunggu...
Akhmad Faishal
Akhmad Faishal Mohon Tunggu... Administrasi - Suka nonton Film (Streaming)

Seorang pembaca buku sastra (dan suasana sekitar) yang masih amatiran.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sebuah Tahapan untuk Menteri Pendidikan

29 Juni 2017   10:46 Diperbarui: 29 Juni 2017   10:57 299
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tulisan ini bukan dilatarbelakangi oleh pengangguran akibat putus sekolah, bukan juga dilatarbelakangi wajib belajar sembilan atau dua belas tahun. Tulisan ini dilatarbelakangi oleh belajar sebagai beban karena semboyan "ganti menteri ganti kebijakan" yang membuat siswa sebagai kelinci percobaan. Tujuannya memang sangat tidak manusiawi karena, bayangkan perasaan mereka menjadi uji coba setiap lima tahun sekali, mereka yang telah lulus seringkali mengatakan seperti ini "saya beruntung karena Ujian Nasional cuma tiga mapel saja" ; "beruntung, saya masih ujian dengan pilihan ganda".

Sistem pendidikan di Indonesia seperti sebuah siklus, mata pelajaran yang ada di SD akan dilanjutkan ke SMP lalu ke SMA. Dengan dalih pendalaman materi dan percepatan untuk mengejar bangsa lain, mereka diharuskan belajar, belajar dan belajar (dengan memberikan banyak PR, ujian dan lain sebagai mana mestinya). Pernah suatu ketika teman penulis bilang seperti ini "Apa yang anak SD pelajari itu harusnya ketika mereka sudah kuliah S2", artinya mata pelajaran yang harusnya diajari di tingkat lanjut, dibawa ke tingkat dasar. Akhirnya, imajinasi mereka menjadi liar setelah dibebankan dan mencari kebebasan yang hanya dia yang boleh mengontrolnya.

Kita pernah mengenal catur wulan lalu berubah menjadi semester, kurikulum KBK, 2004, 2006 dan sekarang ini K13. Kita pernah mengenal menteri pendidikan Bambang Sudibyo (KIB), M. Nuh (KIB II), Anies Baswedan (K Kerja) dan sekarang Muhadjir Effendy (K Kerja), setiap menteri memiliki kebijakan dan di masa transisi M. Nuh ke Anies Baswedan mencuat sindiran kebijakan. Bagaimana mungkin mantan dan menteri pendidikan saling sindir terkait dengan kebijakan? Lha kok bisa gitu? Karena kita belum memiliki konsep pendidikan yang dapat dijalankan seperti benang yang lurus. Begini konsep yang ditawarkan

*****

Pertama, ialah fasilitas sekolah sebagai tempat untuk belajar, Indonesia memiliki ratus ribuan sekolah dengan kesenjangan kualitas yang luar biasa. Ada sekolah yang harus ditempuh dengan perahu, ada yang harus ditempuh dengan jembatan rusak dan ada sekolah yang harus ditempuh dengan bermil-mil jauhnya. Menteri pendidikan dalam pekerjaan yang pertama berfokus pada itu, perbaikan fasilitas sekolah mulai dari sabang hingga merauke, bukan dengan kebijakan yang harus populer seperti kualitas guru, kualitas kurikulum tapi fokus tempat adalah yang utama.

Setiap sekolah harus ditetapkan berapa batas untuk satu ruang kelas, jika untuk kenyamanan harus dua puluh siswa maka harus ditaati. Jika nanti ketambahan satu siswa saja, harus dibuat kelas baru, dianggap pemborosan? Untuk pendidikan kita harus keluar banyak demi sebuah pembelajaran yang kondusif (nyaman). Dengan demikian, tidak ada lagi jumlah siswa yang kelewat 'over', pernah suatu ketika penulis mendatangi sebuah sekolah di Medan, jumlah siswanya tak tanggung-tanggung mencapai 40-an lebih dalam satu kelas.

Belum lagi sekolah yang rusak dan lain sebagainya, mengutip seword "Saya sudah buat peta di seluruh Indonesia jadi nanti tahun 2017 mendatang akan ada 45.000 gedung sekolah yang rusak akan diperbaiki,"  ucap Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy di Ambon (6/11/2016). Nyatanya, sekarang yang digembar-gemborkan adalah sekolah 8 jam sehari yang pada akhirnya tidak jadi dilaksanakan.

Jika pada waktu Bambang Sudibyo, sudah memperbaiki seluruh fasilitas sekolah maka menteri pendidikan selanjutnya memiliki tugas yang tak kalah sulit, yakni memperbaiki kualitas kurikulum sebagai landasan apa yang diajarkan pada siswa-siswi

*****

Sekolah 8 jam, sekolah Full Day, sehabis sekolah ada bimbingan dan lain sebagainya, alangkah ruwet sekolah di Indonesia. Harus ini dan itu demi sebuah nilai yang menjadi dasar penilaian siswa-siswi. Jika, mengacu pada Finlandia yang hanya sekolah 4 jam, mengapa Indonesia tidak bisa? Karena di Indonesia kita memiliki kebingungan untuk mengisi aktivitas, setelah sekolah 4 jam lalu ngapain? Daripada bingung dan mempermudah urusan kita menambah 4 jam lagi sebagai bentuk pendidikan karakter.

Jika membaca novel Totto-Chan, kita mengetahui kepala sekolah Kobayashi membebaskan murid-muridnya untuk mempelajari apa? Bukan berdasarkan jadwal pelajaran yang sudah disiapkan oleh sekolah. Sehingga, mereka ke sekolah dari rumah hanya membawa buku sedikit saja, tidak terlalu banyak. Sederhananya begini, setiap sekolah harus menjadikan bahasa Indonesia sebagai yang utama dan yang membedakan adalah pemberian fasilitas pembelajaran seperti matematika, bahasa Inggris, Kimia, Fisika, Biologi, Ekonomi, Sosiologi, Geografi dan Sejarah. Setiap hari, selama 4 jam mereka ingin belajar apa? Jika belajar harus sembilan puluh menit mereka harus belajar dua mata pelajaran bebas dengan satu mata pelajaran utama. Setelah, belajar mereka diperbolehkan untuk belajar kesenian ataukah berolahraga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun