Oleh YURNALDI
Ada empat pengalaman menarik yang menjadi dasar betapa pentingnya pembangunan infrastruktur Indonesia sentris. Pertama, ketika saya menjadi salah seorang anggota tim Jelajah Lintas Timur-Barat 2005 harian Kompas, perjalanan darat dari Nusa Tenggara Timur sampai ke Sabang di Provinsi Aceh. Saat itu dirasakan betul betapa infrastruktur jalan yang menjadi urat nadi perekonomian suatu daerah, masih menjadi kendala di hampir seluruh daerah di luar pulau Jawa. Jalan rusak, sempit, dan belum ada jalan alternatif, belum ada jalan lingkar, membuat pertumbuhan ekonomi lambat dan kesejahteraan masyarakat jauh dari harapan.
Kedua, ketika bertugas di Aceh semasa Darurat Militer –sampai-sampai saya pernah disandera sekelompok Gerakan Aceh Merdeka (GAM), dan kemudian berjumpa dengan Panglima GAM Ishak Daud, kemudian berlanjut Darurat Sipil dan Masa Damai, terungkap bahwa, rakyat Aceh memberontak melalui GAM, karena kecewa sekali dengan pemerintah pusat yang kurang perhatian ke daerah berjuluk Serambi Mekkah itu. Sementara, sumbangan yang diberikan rakyat Aceh untuk bangsa dan negara bukan rahasia umum lagi. Luar biasa besar nilainya. Namun demikian, infrastuktur jalan jauh sekali dari memadai. Bahkan, jalan kecamatan di Aceh yang masih jalan tanah jauh ketinggalan dari jalan desa di Sumatera Barat, misalnya, yang sudah diaspal hotmiks. Rakyat Aceh merasakan ketidakadilan.
Contoh konkret, Â dengan pembangunan infrastruktur seperti pelebaran jalan atau pembangunan jalan alternatif, dari uang ganti rugi tanah masyarakat bisa buat kedai atau toko di depan rumahnya sebagai sumber ekonomi baru. Bahkan, nilai tanah masyarakat yang semula Rp50 ribu per meter persegi, naik menjadi Rp200 ribu per meter, seperti yang terjadi di Kota Padang. Nilai rumah yang dibangun pun relatif tinggi.
Dan kita bersyukur pemerintah cepat tanggap dan secara bertahap gencar membangun infrastruktur pasca reformasi 1998. Bahkan, Presiden Joko Widodo dengan program Nawa Cita, semakin menggencarkan pembangunan infrasturktur fisik maupun sosial, di luar Jawa. Merata mulai dari Sabang hingga Papua. Image Jawa Sentris sudah berubah di era Joko Widodo menjadi pembangunan Indonesia sentris. Di era Jokowi pemerintah dan negara hadir melalui pembangunan infrastruktur jalan, jembatan, pelabuhan, bandara, kawasan industri dan pasar, selain melalui pelayanan kesehatan, pendidikan, maupun sosial. Pemerintah berupaya meletakkan pondasi yang kuat pada percepatan pembangunan. Sehingga perlu sekali tata kelola pemerintahan yang baik. Â Â
Pengamatan saya, pembangunan atau perbaikan infrastruktur di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo berbeda jauh dengan era kepemimpinan presiden-presiden sebelumnya. Era Joko Widodo sudah lebih maju dan bergerak dengan cepat, sehingga proyek infrastruktur dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat di Indonesia. Contoh nyata, Bandara Komodo bisa jadi dalam satu tahun.
Strategi yang dilakukan Presiden Jokowi dalam mewujudkan Pembangunan Indonesia Sentris  dimulai dari pinggiran, dari Indonesia Timur yang selama ini terkesan dilupakan. Apalagi infrastruktur jalan di wilayah perbatasan yang selama ini jauh tertinggal, sekarang sudah dikebut pengerjaannya. Di utara, terdapat proyek jalan perbatasan Kalimantan. Di selatan terdapat proyek perbatasan Nusa Tenggara Timur (NTT). Sedangkan di timur ada proyek jalan Trans Papua. Untuk jalan perbatasan Kalimantan yang berbatasan langsung dengan Malaysia, terdapat Sembilan ruas jalan yang akan membentang sepanjang 771,36 kilometer dari Kalimantan Barat, Kalimantan Timur hingga Kalimantan Utara. Total panjang jalan yang sudah tembus mencapai sepanjang 441,7 kilometer, meskipun sebagian masih jalan tanah, belum diaspal. Masih terdapat 329,66 kilometer yang harus ditangani sampai tuntas agar seluruh ruas jalan dapat terhubung.
Untuk jalan perbatasan NTT terdapat 6 ruas dengan total panjang mecapai 171,56 km dan untuk Trans Papua terdapat 12 ruas jalan, yang jika tersambung semua akan mencapai 4.325 km. Dan saat ini Trans Papua yang sudah tersambung  sepanjang 3.498 km (Otomindo, Mei 2016).