Ada masa ketika aku sangat dekat dengan kematian
Saat itu terasa begitu menyiksa
Padahal, bukankah aku selalu memimpikan kematian
Akupun menertawakan sesi-sesi konsultasi, dimana ruangan terasa dingin, ceritapun terasa cekat
Tak perlu aku menghitung-hitung berapa banyak jam kuhabiskan, berapa uang harus ku keluarkan setiap minggunya
Katanya aku butuh teman bercerita, karena tak pernah aku izinkan siapapun membuka tembok tinggi pada asliku
Nyatanya tuhan yang menjawab, yang aku butuhkan adalah titik ambang
Mati tidak, hidup juga tidak
Aku tidak perlu lagi menulis jurnal-jurnal bodoh, atau menulis hal yang perlu aku syukuri setiap harinya. Padahal semua yang aku tulis hanya karangan malas, untuk kamuflase benteng kokoh yang sudah terlalu tak tergoyahkan
Mungkin juga Moja yang menulis
Pada titik itu aku tak memiliki amarah lagi, aku yang bukan pemaaf tak peduli pada siapapun, apapun
Kemudian aku bangun dengan perasaan damai, perasaan yang tak pernah aku rasakan
Mungkin aku adalah larva yang akhirnya menjadi kupu-kupu, atau aku adalah ular berbisa yang akhirnya ganti kulit dan menjadi dewasa. Mungkin aku siap memangsamu.
Siapapun aku, saat ini aku menikmati setiap teguk minumanku dengan syukur, setiap sendok makananku dengan lezat
Kuhembuskan napasku dengan lapang
Tak pernah aku menyesal tak membuka pintu rahasiaku secelahpun
Ketika kau tak mampu berupaya dan terlihat tak berdaya, saat itulah kau akan melihat dengan jelas kebenaran
Siapakah yang kau butuhkan dalam kehidupanmu
Mungkin tidak ada
Mungkin hanya beberapa
Tapi saat ini aku bisa melihat, pada siapa aku akan berjuang
Dan kilasan lebih jelas pada apa aku akan berlari
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H