Ada masa ketika aku sangat dekat dengan kematian
Saat itu terasa begitu menyiksa
Padahal, bukankah aku selalu memimpikan kematian
Akupun menertawakan sesi-sesi konsultasi, dimana ruangan terasa dingin, ceritapun terasa cekat
Tak perlu aku menghitung-hitung berapa banyak jam kuhabiskan, berapa uang harus ku keluarkan setiap minggunya
Katanya aku butuh teman bercerita, karena tak pernah aku izinkan siapapun membuka tembok tinggi pada asliku
Nyatanya tuhan yang menjawab, yang aku butuhkan adalah titik ambang
Mati tidak, hidup juga tidak
Aku tidak perlu lagi menulis jurnal-jurnal bodoh, atau menulis hal yang perlu aku syukuri setiap harinya. Padahal semua yang aku tulis hanya karangan malas, untuk kamuflase benteng kokoh yang sudah terlalu tak tergoyahkan
Mungkin juga Moja yang menulis
Pada titik itu aku tak memiliki amarah lagi, aku yang bukan pemaaf tak peduli pada siapapun, apapun