“Kalau saat ini saya bertanya siapa yang salah dalam peristiwa 30 September 1965, saya seperti sedang bertanya duluan mana telur dengan ayam.”
Saya mungkin adalah orang awam yang tak banyak tahu tentang sejarah G30S. Dapat dipastikan saya juga bukan orang yang akan merasa maha tahu akan kebenaran sejarah persitiwa ini karena mata kepala saya tidak pernah melihat langsung situasi politik saat itu. Maka apa yang ingin saya tuliskan hanya sekedar kegalauan saya sebagai orang biasa-biasa saja yang kebetulan lahir bukan dari keturunan TNI maupun Simpatisan PKI.
Seperti yang sudah saya katakan diatas karena saya lahir sebagai orang yang biasa-biasa saja sehingga saat kecil orang tua tidak pernah mengajak saya untuk menonton film G30S/PKI di TVRI yang konon katanya selalu diputar setiap tanggal 30 September. Pun, orang tua saya juga tidak pernah menceritakan operasi militer yang membunuh eks-PKI ke desa-desa, pemberedelan media massa atau TAP MPR yang melarang paham komunisme di Indonesia.
Setengah abad sudah peristiwa ini terjadi, namun baru sekitar 16 tahun peristiwa ini menjadi topik yang hangat untuk diperdebatkan. Termasuk saya orang awam yang dari tahun ke tahun hanya bisa mendengar, membaca, atau melihat pendapat berbagai orang yang tujuan akhirnya kira-kira adalah; mencari siapa yang salah dalam peristiwa ini. Kira-kira sama seperti dengan menyanyi “mana dimana kambing hitam saya..”
Enam belas tahun sudah rezim reformasi. Rezim yang katanya apa-apa serba demokratis, terbuka dan penuh dengan nilai-nilai kejujuran. Tentu indah bagi orang-orang di angkatan saya yang tumbuh dewasa di masa reformasi, membayangkan untuk hidup di negara yang lebih aman, lebih tentram damai dan lebih indah (tidak mencekam). Itu bukan yang dijanjikan oleh pejuang reformasi ?
Tapi tiba-tiba sore ini, muncul pertanyaan yang amat klise dari diri saya (orang awam). Lalu mau sampai kapankah tanggal 30 september akan terus-terusan diperingati dengan cara saling mempersalahkan, saling tuding dan harus saling memelaskan kisahnya ? Sedangkal itukah kita memperingati sebuah sejarah ? Lalu harus dikemanakan pertanyaan-pertanyaan orang awam seperti saya (dan mungkin ada orang awam lain yang hidup di angkatan saya) yang menginginkan suatu kebenaran dari sejarah, bukan siapa yang paling benar membuat sejarah ?
Negara dan kebanyakan media atau tokoh yang banyak saya harapkan bisa memberikan suatu pencerahan itu sampai hari inipun masih sibuk berdebat siapa yang salah atau membela diri. Apakah saya harus ikut merapat di salah satu pihak dan ikut menuding dan menyalahkan pihak lain sampai salah satu pihak terdesak supaya kebenaran dapat segera dibentuk dan di-hitam di atas putih-kan; sehingga perdebatanpun akan selesai? Atau malah sebaiknya saya tetap menjadi orang awam yang hanya duduk mengamati sembari menunggu sang pencerah muncul membawa kebenaran yang senyatanya-nyatanya benar; kenyataan-kenyataan obyektif ?
Sepertinya pilihan kedua lebih menggiurkan ketimbang saya harus ikut menebak-nebak (berhadiah) siapa yang salah dari peristiwa G30S ini karena saya sudah cukup dipusingkan dengan menebak-nebak lebih duluan mana ayam atau telur.
Epilog
Lalu saat ini kemanakah orang awam yang salah satunya seperti saya ini harus menuntut ? Menuntut atas rasa kemanusian yang mengiris hati kami, ketika kami sadar bahwa di negara tempat kami hidup pernah ada pembunuhan beberapa jendral besar, pembunuhan ribuan bahkan jutaan masyarakat sipil yang mendahului kami, dibunuh tanpa alasan pasti yang masih sulit kami mengerti, bahkan ideologi (komunisme) yang merupakan sebuah paham;bukan seorang pelaku –pun ikut dimusnahkan dari negara ini. Juga atas keadilan keluarga korban yang masih merasa kehilangan atau keturunan yang ingin hak-haknya terwujud tanpa diskriminasi yang bahkan sampai sekarang masih ada dan hidup dalam baying-bayang ketidakpastian; di era yang katanya reformasi.