DALAMÂ Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 menjelaskan tentang Perbuatan Merendahkan Kehormatan dan Keluhuran Martabat Hakim (Contempt of Court / CoC). Dalam Undang-Undang ini, penghinaan terhadap peradilan diartikan sebagai perbuatan, tingkah laku, sikap, dan ucapan yang dapat merongrong kewibawaan, martabat, dan kehormatan lembaga peradilan.
Seperti contoh kasus aktivis antimasker Banyuwangi, M Yunus Wahyudi pada kamis (19/8/2021) dalam sidang putusan kasus pidana yang menimpanya, Pria yang biasa dipanggil Yunus itu menyerang ketua majelis hakim yang menyidangkan kasusnya usai divonis 3 tahun penjara. Terdakwa Yunus yang mengamuk dan meloncat naik ke meja persidangan mencoba untuk menyerang ketua majelis hakim Pengadilan Negeri Khamozaru Waruwu yang memimpin sidang tersebut.
Pelaporan dilakukan tiga hakim yang menyidangkan kasus Yunus pada 19 Agustus 2021. Ketiga majelis hakim, Khamozaru Waruwu, Philip Pangalila dan Yustisiana melaporkan insiden penyerangan itu, didampingi Ketua PN Banyuwangi, Nova Flory Bunda.
Berdasaran pemberitaan dari detiknews, bahwa penyerangan terhadap ketua majelis hakim tersebut dipicu oleh teriakan massa pendukung Yunus dari luar ruang persidangan sehingga membuat Yunus nekat untuk melakukan penyerangan terhadap majelis ketua hakim tersebut. Sehingga aparat keamanan baik itu polisi dan satuan pengamanan pengadilan negeri Bayuwangi langsung turun tangan untuk mengamankan para pendukung Yunus tersebut.
Dari kasus di atas bisa disebut sebagai perbuatan merendahkan kehormatan dan keluhuran seorang hakim. Penting untuk seorang hakim menjaga kehormatan dan keluhurannya karena seorang hakim merupakan inti dari sebuah pengadilan dan merupakan penyelenggara dalam berjalannya suatu hukum, bisa dibayangkan apabila seorang hakim dinilai rendah kehormatan dan keluhurannya di mata masyarakat maka tidak akan tercipta penyelenggaraan pengadilan dan pemberian kepastian hukum yang sakral dan suci di dalam ruang persidangan. Wibawa seorang hakim juga diperlukan agar masyarakat tidak menganggap remeh dari sebuah serangkaian acara persidangan.
Sebagaimana yang diketahui, bahwa para pencari keadilan tentu saja mengharapkan bahwa setiap keputusan yang dikeluarkan oleh hakim adalah suatu keputusan yang sangat adil dan benar. Meskipun demikian, dalam praktik persidangan di pengadilan masih banyak ditemukan para pencari keadilan yang tidak puas dengan keputusan yang telah ditetapkan oleh hakim. Bahkan di antaranya para pencari keadilan tersebut merasa kecewa dan dirugikan dengan keputusan dari persidangan tersebut, sehingga menimbulkan rasa marah dan juga kecewa terhadap para majelis hakim.
Ada lima perbuatan yang termasuk dalam penghinaan terhadap peradilan: perilaku tidak pantas dan tercela di pengadilan (misbehaving in court), Tidak mentaati perintah-perintah pengadilan (Disobeying Court Orders), Menyerang integritas dan impartialitas pengadilan (Scandalising the Court), Menghalangi jalannya penyelenggaraan peradilan (Obstructing Justice), dan Perbuatan-perbuatan penghinaan terhadap pengadilan dilakukan dengan cara pemberitahuan/publikasi (Sub-Judice Rule). Dalam artikel ini akan dibahas secara langsung mengenai beberapa upaya yang bisa dilakukan untuk meminimalisir perbuatan merendahkan kehormatan dan keluhuran martabat hakim (PMKH).
Ancaman terhadap Kepercayaan Publik
Hakim merupakan pejabat negara yang berwenang untuk memeriksa, dan memutus perkara di pengadilan dengan cara yang diatur dalam undang-undang. Hakim dalam menjalankan wewenangnya harus menjunjung tinggi independensi. Selain itu, integritas hakim juga harus dijunjung tinggi saat hakim menjalankan wewenangnya. Integritas hakim merupakan hal sangat penting saat hakim memutus perkara, karena hakim yang berintegritas akan memutus perkara dengan hati nuraninya yang bertujuan untuk menciptakan keadilan hukum, kepastian hukum, dan kemanfaatan hukum. Hakim yang tidak berintegritas akan lebih mudah terintervensi oleh banyak yang hal yang berpengaruh dalam pengambilan putusan.
Menurunnya integritas hakim berpengaruh pada marwah pengadilan. Hakim sebagai cermin pengadilan dianggap sebagai wakil Tuhan di bumi untuk membela keadilan. Sebagai aktor utama dalam menjaga marwah pengadilan, hakim harus memiliki integritas yang tinggi agar kepercayaan masyarakat terhadap pengadilan sebagai tempat mencari keadilan masih tetap ada.
Menurunnnya integritas hakim berpengaruh pada tingkat kepercayaan publik terhadap lembaga penegakan hukum di Indonesia. Hasil survei Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia ( Kedai KOPI) menunjukan bahwa tingkat kepercayaan masyarakat kepada Pengadilan dan Kejaksaan Agung hanya sebesar 73,3%. Berdasarkan data tersebut, sekitar 26,7% publik tidak percaya terhadap penegakan hukum di pengadilan.
Kepercayaan Masyarakat Terhadap Pengadilan
Dalam suatu negara hukum, lembaga peradilan memiliki peran penting sebagai tumpuan utama untuk menyelesaikan permasalahan hukum pada masyarakat. Dalam sistem peradilan di Indonesia, jaksa, hakim, pengacara dan polisi ditempatkan pada pilar pertama dalam penegakan hukum. Namun seringkali sistem peradilan ini mengecewakan banyak masyarakat terutama bagi mereka yang mencari keadilan. Seringkali keputusan para hakim dinilai kurang adil dan menciderai keadilan pada masyarakat, sehingga berdampak munculnya kekerasan pada hakim dan pengadilan.
Seringkali terjadi protes terhadap pengadilan dan protes tersebut banyak yang berujung pada tindakan kekerasan khususnya terhadap hakim. Misalnya putusan hakim yang dinilai tidak adil, tuduhan hakim menerima suap, kekerasan fisik di ruang sidang, dan perbuatan penghinaan pada pengadilan yang dilakukan dengan cara publikasi dan lainnya. Hal inilah yang disebut dengan tindakan Contempt of Court (CoC) / penghinaan terhadap kehormatan dan keluhuran hakim
Kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap pengadilan masih cukup rendah, karena Lambatnya proses peradilan, proses peradilan yang lambat dan berlarut-larut dapat menyebabkan ketidakpuasan masyarakat. Kasus-kasus yang tidak segera dituntaskan dan penundaan yang berkepanjangan mengesankan kurangnya efisiensi dan akses keadilan yang adil. Ketidakmerataan akses keadilan, ketidakmerataan akses keadilan dapat menjadi faktor yang mengurangi kepercayaan masyarakat. Tidak semua lapisan masyarakat memiliki akses yang sama terhadap pengadilan, baik karena keterbatasan ekonomi, geografis, atau sosial. Kurangnya pemahaman masyarakat tentang sistem peradilan, kurangnya pemahaman masyarakat tentang proses peradilan dan mekanisme hukum dapat menyebabkan ketidakpercayaan. Jika masyarakat tidak memiliki pengetahuan yang memadai tentang bagaimana pengadilan beroperasi, hal itu dapat menciptakan ketidakpastian dan keraguan terhadap keputusan yang dihasilkan.
Kurangnya pemahaman masyarakat terhadap peradilan seperti mekanisme komplain terhadap segala putusan hakim membuat masyarakat sering melakukan tindakan yang melanggar yang dapat merendahkan kehormatan martabat pengadilan.
Oleh karena itu pentingnya pemahaman antara advokat dan juga masyarakat yang sedang mencari keadilan. Sehingga segala bentuk putusan hakim nantinya tidak akan terjadi tindakan yang melanggar melainkan akan melakukan banding, kasasi dan lainnya jika putusan tidak sesuai yang diharapkan. Secara garis besar Contempt of Court pelakunya adalah aparat penegak hukum (APH) dan publik. Namun hakim juga dapat menjadi pelaku Contempt of Court karena salah satu faktor pencetusnya adalah perilaku hakim itu sendiri.
Maka dapat disimpulkan rendahnya budaya hukum masyarakat dan perilaku hakim itu sendiri dapat menjadi faktor yang akan menimbulkan adanya tindakan Contempt of Court. Jika masyarakat sudah banyak yang sadar hukum dan hakim juga semakin banyak yang profesional maka tindakan semacam Contempt of Court dan kekerasan akan semakin berkurang.
Upaya Meminimalisir PMKH
ada beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk meminimalisir Perbuatan Merendahkan Kehormatan dan Keluhuran Martabat Hakim (PMKH), dibawah ini adalah beberapa upaya yang dapat dilakukan:
- Upaya yang pertama dari hakim itu sendiri, yaitu internalisasi Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) yang berdasarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Ketua Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial Nomor : 047/KMA/SKB/IV/2009; 02/SKB/P.KY/IV/2009 ) ada sepuluh prinsip. SKB berpedoman pada perilaku hakim dan kode etik guna menegakkan kehormatan, keluhuran martabat dan perilaku hakim. Berikut Sepuluh Prinsip Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim yaitu Berperilaku jujur, adil, bijaksana, berintegritas tinggi, mandiri, bertanggung jawab, disiplin, rendah hati, menjunjung harga diri dan bersikap profesional. Semua prinsip ini harus dipegang dan dilaksanakan dengan baik di dalam atau luar persidangan. Dalam menjalankan tugas seorang hakim, baik didalam persidangan maupun pada saat berinteraksi dengan masyarakat KEPPH harus dipegang teguh oleh seorang hakim karena KEPPH ini merupakan panduan utama bagi hakim. Penting untuk hakim berkehendak dan bertekad untuk selalu menjaga kehormatannya sendiri. Karena tanpa hakim menjaga kehormatanyna terlebih dahulu maka Contempt of Court tidak dapat dicegah.
- Upaya yang kedua dari melibatkannya perguruan tinggi. Dengan peran serta khususnya para mahasiswa fakultas hukum pada perguruan-perguruan tinggi ini yang nantinya akan dapat mencegah terjadinya praktik Contempt of Court sejak dini, karena pada perguruan tinggi inilah yang nantinya akan menghasilkan para calon-calon penegak hukum masa depan. Peran dosen yang sangat penting disini yaitu perlunya memberikan pengetahuan dan pemahaman yang baik sejak perkuliahan tentang kode etik profesi hukum. Sehingga nantinya mereka akan dapat bertugas dan bekerja dengan baik serta menjunjung tinggi kode etik.
- Upaya yang ketiga yaitu dengan cara mensosialisasikan hukum dan mengadakan penyuluhan kepada masyarakat untuk mencegah perbuatan merendahkan kehormatan dan keluhuran hakim atau yang biasa disebut dengan Contempt of Court.
- Upaya yang keempat mengamankan jalannya pengadilan yaitu dengan menempatkan polisi khusus di Pengadilan untuk mengamankan dan meningkatkan sarana dan prasarana penanganan di Pengadilan.
- Upaya yang kelima yaitu dengan mempertegas sanksi terhadap pelaku Contempt of Court dan memberikan tindak lanjut terhadap pelaku di pengadilan.
- Upaya yang keenam yaitu dengan mengadakan koordinasi dan sinergitas yang rutin antara sesama aparat penegak hukum demi mewujudkannya peradilan yang bebas dari kekerasan dan Contempt of Court. Beberapa hal diatas merupakan bentuk-bentuk upaya untuk mewujudkan peradilan yang bebas dari kekerasan dan tindakan Contempt of Court.
DAFTAR PUSTAKA
Majalah
Majalah Dandapala, Mahkamah Agung RI, Volume V, Edisi 31, Juli Agustus-September 2019 -- halaman 72-73
Website
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H