Mohon tunggu...
Titik Yulianti
Titik Yulianti Mohon Tunggu... -

Asli ngapak

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

(FKK)Di Banyumas, Dilarang Makan Banyak

14 Juni 2014   02:02 Diperbarui: 20 Juni 2015   03:50 310
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Titik Yulianti No 74

Kepalaku pusing, namun tanganku secara refleks mengusap-usap perut, bukannya kening.  Memang perut buncitku ini yang menjadi sumber kepala pusing.  Keinginan si jabang bayi belum juga terpenuhi sejak tiga hari yang lalu.  Semalam aku sampai bertengkar dengan suamiku karena tidak membawa makanan yang kuidam-idamkan.

“Kamu jangan cemberut gitu dong.  Besok Mas cari lagi ya,” kata suamiku.  Sejak hamil muda aku memang menjadi lebih sensitif, terutama jika ngidamku belum terkabul.

“Mas yakin sudah muter-muter keliling kota?”

“Mas sudah keliling Sokaraja, Purwokerto, Banyumas, Ajibarang, tapi ndak nemu.  Kamu pikir dua hari ini Mas pulang malam terus karena apa?”  Suamiku yang biasanya sabar kini suaranya meninggi.

“Ya bisa saja Mas pulang malam karena hal lain.  Toh mantannya Mas juga berasal dari kota ini,”  aku merepet tanpa memikirkan kata-kataku.

Kali ini suamiku hilang kesabarannya.  Dia beristighfar dan mendiamkanku begitu saja.  Begitulah, suamiku tidak suka adu mulut.  Saat pertengkaran memuncak, dia lebih suka mengakhirinya dengan bacaan istighfar dan diam.

Kami berdua berasal dari Jakarta, dan baru pindah ke Banyumas ini beberapa bulan.  Suamiku dipindahtugaskan ke kota ini, dan aku pun mengikuti.  Kini aku mengajar di sebuah SMA suasta di Sokaraja, kota kecil di Banyumas yang terkenal dengan getuk gorengnya.

Kepriben Mba, dari tadi bengong terus,” tegur Ela dengan logat ngapaknya yang sangat Banyumas.

“Eh Mba Ela.  Ndak apa-apa Mba, cuma rada pusing,” ungkapku pada sahabatku sesama guru ini.

“Lagi ngidam ya Mba?  Dulu waktu inyong hamil juga begitu kok.”

Aku hanya tersenyum mengiyakan.  Tersadar secara tiba-tiba, aku pun terlonjak.  Benar juga, kenapa tidak aku tanyakan saja pada sahabatku ini.  Dia kan orang Banyumas tulen.

“Mba Ela, di sekitar sini ada yang jualan angsa panggang ndak?  Suamiku udah beberapa hari nyari ndak nemu-nemu,” curhatku pada mba Ela.

“Owalah, lagi ngidam banyak?  Di sini nggak ada yang  jualan banyak Mba.”

“Ndak perlu banyak-banyak kok mba.  Sedikit juga ndak apa-apa.   Saya cuma penging makan angsa, mau angsa goreng, pindang angsa, angsa rebus, apa saja deh mba, asal daging angsa.  Bayiku sudah ngiler pengin makan daging angsa soalnya.”

Banyak itu artinya angsa mba. Di Banyumas ini, segala macam olahan daging angsa tidak bakal ada yang berani jual mba.  Mau dicari sampai pelosok Banyumas juga percuma.”

“Ndak berani jual daging angsa, memangnya kenapa to Mba?”

“Jadi di daerah ini ada sebuah mitos tentang larangan makan daging angsa.  Ceritanya dimulai dari jaman Kerajaan Majapahit.  Suatu hari, seorang pangeran Majapahit yang bernama Pangeran Baribin membuat sebuah kesalahan.  Untuk menebus kesalahannya, Sang Raja pun mengusirnya ke Pajajaran.  Ia ingin agar anaknya mengabdi di sana.

Pangeran Baribin pun akhirnya menuruti perintah ayahnya dan menjalani masa pembuangan.  Namun selama kepergian Baribin, Sang Raja berubah pikiran.  Ia ingin anaknya kembali ke Majapahit.  Ia pun mengutus para prajuritnya untuk menyusul putranya agar segera pulang.

Para prajurit kemudian mengendus keberadaan Raden Baribin yang saat itu telah sampai di Kebumen.  Ketika para prajurit utusan Majapahit telah semakin dekat, Pangeran Baribin melihatnya.  Ia melihat sekelompok prajurit Majapahit menunggang kuda dan berderap mendekatinya.  Mereka meneriakkan namanya dengan lantang sembari mengacung-acungkan pedangnya.  Ia merasa para prajurit tersebut datang padanya untuk menamatkan riwayatnya.  Segera saja ia memacu kudanya berlari menjauhi para prajurit.

Sementara itu para prajurit merasa senang karena akhirnya mereka menemukan apa yang mereka cari.  Mereka terus meneriakkan nama Raden Baribin dan melambai-lambaikan tangan.  Mereka tidak menyadari kalau mereka masih menggenggam pedang saat melambaikan tangan, sehingga terlihat mereka seperti sedang mengacung-acungkan pedangnya pada pangeran.  Mereka pun bingung karena Raden Baribin malah berlari menjauh.  Akhirnya terjadilah aksi kejar-kejaran.

Dalam pelariannya menghindar dari kejaran prajurit Majapahit, Raden Baribin singgah di sebuah desa bernama Puring, yang saat ini terletak di Kecamatan Gombong, Kabupaten Kebumen.  Dulu Kabupaten Kebumen masih termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Banyumas.  Warga Desa Puring saat itu sedang diresahkan oleh ulah seekor buaya yang suka memangsa manusia.  Benar saja, ketika Raden Baribin tengah duduk di tepian rawa, seekor buaya yang sangat besar menghampirinya.  Terjadilah perkelahian sengit antara Sang Raden dengan buaya.  Karena kesaktiannya, Raden Baribin akhirnya dapat mengalahkan buaya itu.  Ia pun menjadi sosok yang disegani oleh warga Desa Puring.

Suatu hari, Raden Baribin diundang untuk  makan bersama oleh salah satu warga, sebagai ucapan terimakasih sekaligus perpisahan.  Itu adalah hari terakhirnya di Desa Puring, karena ia harus melanjutkan perjalanannya menuju Pajajaran. Waktu itu bertepatan dengan Hari Sabtu Pahing.  Orang yang mengundangnya menghidangkan nasi beserta daging banyak atau angsa yang lezat sebagai lauk.  Usai menandaskan makanannya, Raden Baribin berpamitan pada warga.  Ia pun berlalu dari Desa Puring.

Hari itu ternyata para prajurit utusan Majapahit telah menemukan jejak Raden Baribin.  Mereka segera berderap menuju Desa Puring untuk menemukan pangeran.  Sesampainya di desa, mereka mendapati orang yang mereka cari baru saja meninggalkan desa.  Kejadian seperti itu bukan hanya sekali atau dua kali saja.  Telah berkali-kali mereka merasa harapannya tercapai, namun segera kandas karena orang yang dicari baru saja pergi meninggalkan tempat itu.  Lelah dan kesal, membuat para prajurit tidak bisa lagi menahan emosi.  Mereka murka dan mengobrak-abrik seisi desa.

Raden Baribin yang telah berada di tempat lain mendengar kabar bagimana para prajurit memporak-porandakan desa Puring.  Akhirnya ia pun berucap, ‘Bagi warga Banyumas, jangan sampai bepergian jauh pada hari Sabtu Pahing.  Jangan pula masyarakat Banyumas memakan daging banyak atau angsa.  Jika hal tersebut dilanggar, niscaya mereka akan mendapatkan kesialan.’

Nah sejak saat itu masyarakat daerah ini tidak ada yang berani makan daging angsa, apalagi menjualnya.  Coba kamu nego sama bayimu itu, minta yang lain saja.  Daging bebek atau daging ayam gitu.”  Mba Ela berkisah panjang lebar.

Aku manggut-manggut mendengar cerita Mba Ela.  Seketika rasa bersalah merayapiku.  Aku sudah menyuruh suamiku berputar-putar keliling kota, bahkan menuduhnya yang tidak-tidak.  Sebaiknya kukirim SMS pada suamiku.

mas daging angsanya ndak jadi

diganti bebek aja

Notes:  Cerita tentang Raden Baribin itu berlangsung di Gombong, Kabupeten Kebumen.  Saya sendiri tidak tahu apakah larangan memakan daging banyak atau angsa berlaku untuk seluruh Karasidenan Banyumas (terdiri atas Banyumas, Purbalingga, Cilacap, Kebumen)  atau tidak.  Tapi yang jelas masyarakat Banyumas masih memegang erat mitos ini.

Untuk Membaca karya peserta lain, silakan menuju akun fiksiana community

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun