Menurut wikipedia "Matematika (dari bahasa Yunani: μαθημα - mathēma, "pengetahuan, pemikiran, pembelajaran") adalah ilmu yang mempelajari hal-hal seperti besaran, struktur, ruang, dan perubahan", dari definisi tersebut bisa dikatakan kalau matematika itu luas bahkan mencakup logika, topografi ,dsb .
Sedangkan definisi matematika menurut banyak orang adalah berhitung, angka dan mengerjakan soal-soal, Pernyataan itu benar jika kita disandingkan pada persoalan-persoalan teoritis di bangku akademisi, tetapi disini saya mencoba melihat dari sudut pandang yang berbeda.
Sudut pandang dimana orang tidak hanya berfikir tentang trigonometri, aritmatika, algoritma dsb tetapi tentang matematika dalam kehidupan sosial . Karena dalam kondisi bermasyarakat dan khalayak umum matematika itu bukan saja mengajarkan hafalan teori dan perhitungan tapi lebih kepada kesepakatan bersama.
Sewaktu masih sekolah (kesannya saya tua banget) , konsep matematika yang diajarkan adalah dengan metode tau rumus dari buku ditambah latihan soal terus menerus, lalu menganggap kita pasti bisa. Jadi konsep yang tertanam bahwa matematika itu bisa ngerjain soal dapet nilai yang lumayan (yang penting gak remidi) kemudian bisa naik kelas dan lulus ujian.
Faktanya, matematika yang diajarkan guru tidak semuanya bisa digunakan karena ada variabel variabel tambahan tertentu yang sering muncul di kehidupan nyata sebagai contoh: ketika saya mau mengambil laundryan, kemudian melihat nota total berat pakaian saya adalah 4,2kg. Sedangkan harga per kg nya adalah Rp.6000.
Kalau dikalkulasikan saya seharusnya membayar sebesar Rp 25.200 tetapi saat saya mau membayar sang pemilik tempat laundry tersebut hanya menyuruh saya membayar sebesar Rp25.000, lalu bagaimanakah yang 200?? yang 200 itu sendiri masuk ke dalam variabel tambahan yang dinamakan "variabel kompromi" antara pembeli dan penjual. Terdapat variabel tak terduga oleh matematika itu sendiri.
Contoh lain ketika anda masuk dalam sebuah ruangan angker sendiri dan merasa ketakutan akan suatu hal, maka persamaannya 1 orang = 1 ketakutan tetapi ketika anda ketakutan kemudian datang teman anda yang juga ketakutan apakah ketakutannya menjadi 2? Tentu tidak, justru nilainya menjadi 1/2 ketakutan.
"Karena Matematika bukan ilmu pasti, Matematika itu adalah Bagaimana kita mengamankan kepastian"
Lain dalam hal dunia perlaundryan dan dunia mistis, lain lagi matematika dalam dunia politik. Seminggu yang lalu tepatnya tanggal 2-12-2018 terdapat sebuah acara di Jakarta di Monumen Nasional yaitu acara bertajuk "Reuni 212".
Dari acara tersebut kembali menimbulkan perdebatan matematis mengenai berapa banyak orang yang hadir, salah satu kubu mengatakan jumlah yang datang mencapai 8 juta, kemudian kubu lain mengatakan 500 ribu, dan kabid humas polda metro jaya menyebutkan jumlahnya hanya mencapai 100 ribu orang.
Lalu bagaimanakah perhitungannya menurut pendapat yang mengatakan bahwa jumlah peserta 500.000?? kita jabarkan perhitungannya dengan menghitung luas area tugu tani, monas, hingga jalan thamrin adalah 205.800 meter persegi (angka estimasi), "jika dalam satu meter persegi cukup untuk empat orang maka dengan luasan tersebut cukup untuk 832.200 orang , namun pada reuni 212 dilakukan sholat shubuh berjamaah, sehingga menggunakan hitungan luas 1 x 0,5 meterpersegi atau luas sajadah rata-rata orang indonesia, maka area 205.800 hanya mampu menampung 411.600 orang.
Kemudian dari kubu yang lain berpendapat bahwa perhitungan mereka didasarkan data operator telepon seluler, jumlah IMEI yang tercatat pada tanggal 2-12-2018 tersebut berjumlah 13,4 juta handphone, pasca beredarnya angka tersebut asumsi kembali dibuat dengan = 10 % hadirin mempunyai 3 hp , 20% hadirin 2 hp, 55% hadirin 1 hp, dan 5% hadirin membawa 0 Hp, maka persamaan matematikanya adalah 30% hadirin 3 hp + 40% hadirin 2 hp + 55% hadirin 1 hp, dan 0% hadirin 0 Hp = 13.400.000 orang.
Sehingga 13.400.000 orang = 125 % , jadi total orang = 13.400.000/125% yaitu 10.720.000 kemudian dikurangi aparat dan petugas lainnya 300.000, sehingga menjadi 10.420.000 orang menurut salah satu kubu. Cukup rumit kan? iya, karena semua kubu ingin saling klaim yang pada akhirnya mereka saling menyepakati kesepakatan secara bersama dengan kubu masing masing.
Pembahasan lain juga terkait matematika dalam dunia politik adalah tentang salah satu calon wakil presiden mengatakan bahwa ukuran tempe di pasar setipis kartu atm, hal ini tentu ngawur karena kalau mengatakan tebal-tipis harus berdasarkan perhitungan luas , tapi ya mungkin itu saja hanya sebuah majas hiperbola, toh pada akhirnya pun sama kedua kubu tetap menyepakati apa yang diyakininya.
Kemudian mengenai harga BBM naik yang disebabkan harga minyak dunia naik pada saat itu, kita asumsikan dengan persamaan y= ax + b, maka secara linier yang terjadi seharusnya ketika harga minyak dunia turun maka harga BBM juga turun pada saat itu.
Tetapi kenyataannya harga BBM tidak turun dengan alasan perlu pertimbangan untuk menurunkan dan kalkulasi dalam jangka waktu yang lama tetapi ketika menaikan tidak perlu waktu yang cukup lama untuk dipertimbangkan dan masyarakat memaklumi hal tersebut. See? Matematika dalam dunia nyata hanya tergantung kesepakatan diantara orang-orang
Saya sekolah dari SMA sudah masuk IPA, kemudian berkuliah di salah satu kampus negeri di kota malang mengambil jurusan teknik. Dan mencoba mengambil makna dari matematika bahwa matematika itu sendiri bukan hanya tentang angka dan kepastian seperti yang tertanam di pikiran saya selama ini. Tetapi setelah belajar teori matematika di lingkup universitas, menurut saya matematika adalah tentang kesepakatan persamaan antara dosen-mahasiswa, mahasiswa-literatur yang dibaca.
Bahkan di mata kuliah kalkulus terdapat bab berisi limit (pendekatan) misal x->0 dengan kata lain "x Mendekati nol". Kita lihat dari penjumlahan yang paling sederhana saja sebenarnya hanyalah sebuah kesepakatan bersama-sama. Misal 1+1 = 2. Benarkah hasilnya 2, atau Angka 2 didapat dengan segala persyaratan & beberapa variabel yg dianggap tetap.
Contoh lain dalam kehidupan nyata kalau orang zaman dahulu beli obat nyamuk bakar, maka 1-1 justru masih sisa 1. Bagaimana dengan kondisi lain? Dari berpuluh-puluh kali saya sebagai mahasiswa teknik menghitung selalu harus ditetapkan kondisinya, misal "Asumsi suhu ruangan 27 derajat celcius" atau dengan "tekanan 1 atm". Contoh lain, gaya gesek disepakati mendekati nol, atau panas yg keluar dianggap nol, apakah begitu kenyataannya? tentu tidak.
Ternyata ilmu matematika ini bukan hanya tentang teori tapi ilmu pendekatan untuk saling dapat berkompromi. Ketika ada yang "menemukan"/mengemukakan sebuah teori baru & itu disepakati bersama, jadilah itu sebuah ketetapanbaru.
Dan dengan berjalannya waktu trkadang hukum tersebut sudah tidak relevan lagi. Terakhir kata saya mau mengatakan tulisan ini ditulis oleh seseorang lulusan teknik yang harus mengulang mata kuliah kalkulus sebanyak tiga kali ketika menjadi mahasiswa. Maka dari itu silahkan disepakati bersama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H