Kemudian dari kubu yang lain berpendapat bahwa perhitungan mereka didasarkan data operator telepon seluler, jumlah IMEI yang tercatat pada tanggal 2-12-2018 tersebut berjumlah 13,4 juta handphone, pasca beredarnya angka tersebut asumsi kembali dibuat dengan = 10 % hadirin mempunyai 3 hp , 20% hadirin 2 hp, 55% hadirin 1 hp, dan 5% hadirin membawa 0 Hp, maka persamaan matematikanya adalah 30% hadirin 3 hp + 40% hadirin 2 hp + 55% hadirin 1 hp, dan 0% hadirin 0 Hp = 13.400.000 orang.
Sehingga 13.400.000 orang = 125 % , jadi total orang = 13.400.000/125% yaitu 10.720.000 kemudian dikurangi aparat dan petugas lainnya 300.000, sehingga menjadi 10.420.000 orang menurut salah satu kubu. Cukup rumit kan? iya, karena semua kubu ingin saling klaim yang pada akhirnya mereka saling menyepakati kesepakatan secara bersama dengan kubu masing masing.
Pembahasan lain juga terkait matematika dalam dunia politik adalah tentang salah satu calon wakil presiden mengatakan bahwa ukuran tempe di pasar setipis kartu atm, hal ini tentu ngawur karena kalau mengatakan tebal-tipis harus berdasarkan perhitungan luas , tapi ya mungkin itu saja hanya sebuah majas hiperbola, toh pada akhirnya pun sama kedua kubu tetap menyepakati apa yang diyakininya.
Kemudian mengenai harga BBM naik yang disebabkan harga minyak dunia naik pada saat itu, kita asumsikan dengan persamaan y= ax + b, maka secara linier yang terjadi seharusnya ketika harga minyak dunia turun maka harga BBM juga turun pada saat itu.
Tetapi kenyataannya harga BBM tidak turun dengan alasan perlu pertimbangan untuk menurunkan dan kalkulasi dalam jangka waktu yang lama tetapi ketika menaikan tidak perlu waktu yang cukup lama untuk dipertimbangkan dan masyarakat memaklumi hal tersebut. See? Matematika dalam dunia nyata hanya tergantung kesepakatan diantara orang-orang
Saya sekolah dari SMA sudah masuk IPA, kemudian berkuliah di salah satu kampus negeri di kota malang mengambil jurusan teknik. Dan mencoba mengambil makna dari matematika bahwa matematika itu sendiri bukan hanya tentang angka dan kepastian seperti yang tertanam di pikiran saya selama ini. Tetapi setelah belajar teori matematika di lingkup universitas, menurut saya matematika adalah tentang kesepakatan persamaan antara dosen-mahasiswa, mahasiswa-literatur yang dibaca.
Bahkan di mata kuliah kalkulus terdapat bab berisi limit (pendekatan) misal x->0 dengan kata lain "x Mendekati nol". Kita lihat dari penjumlahan yang paling sederhana saja sebenarnya hanyalah sebuah kesepakatan bersama-sama. Misal 1+1 = 2. Benarkah hasilnya 2, atau Angka 2 didapat dengan segala persyaratan & beberapa variabel yg dianggap tetap.
Contoh lain dalam kehidupan nyata kalau orang zaman dahulu beli obat nyamuk bakar, maka 1-1 justru masih sisa 1. Bagaimana dengan kondisi lain? Dari berpuluh-puluh kali saya sebagai mahasiswa teknik menghitung selalu harus ditetapkan kondisinya, misal "Asumsi suhu ruangan 27 derajat celcius" atau dengan "tekanan 1 atm". Contoh lain, gaya gesek disepakati mendekati nol, atau panas yg keluar dianggap nol, apakah begitu kenyataannya? tentu tidak.
Ternyata ilmu matematika ini bukan hanya tentang teori tapi ilmu pendekatan untuk saling dapat berkompromi. Ketika ada yang "menemukan"/mengemukakan sebuah teori baru & itu disepakati bersama, jadilah itu sebuah ketetapanbaru.
Dan dengan berjalannya waktu trkadang hukum tersebut sudah tidak relevan lagi. Terakhir kata saya mau mengatakan tulisan ini ditulis oleh seseorang lulusan teknik yang harus mengulang mata kuliah kalkulus sebanyak tiga kali ketika menjadi mahasiswa. Maka dari itu silahkan disepakati bersama.