“Baru saja, hanya sesaat suara tangis itu. Tapi aku yakin itu suara bayi,” sergahku karena yakin dengan apa yang baru saja kudengar.
“Ya, Bapak juga kok nggak denger ya?”
Aku terdiam. Mungkin jerit bayi itu hanya dalam angan-anganku. Sejak perut Evi semakin membuncit, yang selalu ada dalam benakku adalah medekap seorang bayi. Aku dan Evi mulai menyusun rencana-rencana untuk buah hati kami itu. Bukan hal-hal besar, namun bentuk-bentuk kebahagiaan kecil seperti berjalan-jalan di taman atau bermain air bersama-sama.
Tak jarang aku melihat sinar mata Evi memancarkan kebahagiaan yang amat sangat. Saat ia tengah mengusap-ngusap perutnya yang kian membesar, atau ketika kami menenggelamkan diri di antara rak-rak penuh baju-baju berukuran mungil di sebuah toko perlengkapan bayi.
Aku juga tak mau kalah. Di setiap kesempatan, aku mengumpulkan banyak lagu berirama lembut dan kuputar saban pagi. Harapanku, jauh di dalam kehangatan rumah kecilnya bernama rahim itu, bayi kecil kami boleh merasakan indahnya dunia melalui nada-nada yang mrngalun lembut itu. Dengan mendengar lagu-lagu itu, kuharap dia tahu ada orang-orang yang begitu menantikan kehadirannya. Dan, saat itu telah tiba. Kini melalui pisau-pisau bedah, para dokter sedang membuka sebuah jalan keluar untuknya.
Aku tersentak saat pintu ruang operasi itu terbuka. Dari dalam muncul seorang wanita berpakaian perawat yang mendekap sesuatu dalam pelukannya. Wanita melihat ke arahku, lalu dengan sebuah anggukan kepala ia memintaku untuk mendekatinya. Aku segera berjalan ke arahnya. Orang Tua Evi menyusulku tak lama kemudian.
“Selamet Mas. Jaler nggih, Mas,1” kata wanita itu sembari menyingkap kain yang menutupi sesuatu yang didekapnya itu.
Pemandangan di depanku membuat aku terpana sembari menahan nafas. Seorang bayi mungil laki-laki berwarna merah pucat menggeliat-geliat. Pipinya kusentuh dengan lembut. Dalam hati akumenjerit kegirangan. Ini wajah kecil yang telah kami nantikan selama bertahun-tahun lamanya. Sebelumnya aku hanya mereka-reka bagaimana rupanya. Kini mataku mampu menginderainya; daging dari dagingku, tulang dari tulang ku, darah dari darahku.
Wanita itu kembali membawa bayi kecil masuk. Sementara aku terus mematung di depan pintu, lantaran masih terpukau dengan keajaiban kehidupan di depan mataku. Kedua orang tua Evi menangis terharu lantaran cucu yang mereka nantikan kini hadir ke dunia.
Tak lama kemudian, wanita itu kembali keluar dari ruang operasi dengan membawa bayi kami. Ia kemudian menyusuri lorong dan masuk ke sebuah ruangan lain di rumah sakit itu. Bayi kami kemudian diletakkan dalam sebuah kotak kaca agar tetap hangat sembari menunggu ibundanya siuman.
Satu atau dua jam setelah operasi dilaksanakan, Evi tersadar dari pengaruh obat yang telah membiusnya. Ia kemudian dipindahkan ke sebuah bangsal tempat bayi kecil kami berada. Alih-alih mengerang kesakitan akibat luka yang melintang di perutnya, ia malah menangis gembira sambil menatap bayi kecil itu.