Rabu (2/2) menerima kabar kalau beberapa siswa tidak masuk sekolah karena positif covid. Sontak berita ini mengagetkan kami. Dan upaya sekolah menyarankan guru dan siswa yang kontak erat (KE) dengan penderita, hari Kamis bisa tes swab di puskesmas.
Kamis (3/2) sekolah menyarankan beberapa guru dan siswa melakukan tracing covid di puskesmas Taman, termasuk saya. Dan diantara guru yang menjalani tes Swab, hanya saya seorang yang hasil Swabnya positif. Hasil tracing dari petugas kesehatan puskesmas Taman, kemungkinan saya kena di sekolah. Mengingat hari Senin (31/1) saya kontak erat (KE) dengan beberapa siswa yang minta ijin pulang karena sakit serta melaksanakan konseling dan bimbingan kelompok beberapa gelombang. Dari pagi hingga siang. Diagnosa penyebab ini masih kemungkinan dan yang pasti saya harus menjalani isolasi mandiri di rumah karena hasil swab saya positif. Karena gejalanya mirip flu, maka sekujur tubuh ini media penularannya. Untuk itu, rumah langsung dibagi dua. Ruang tengah hingga halaman depan milik saya dan ruang tengah hingga halaman belakang milik keluarga lainnya. Dan keduanya memiliki akses keluar. Bukan hanya tempat tidur, tempat makan minum, peralatan mandi, semua terpisah bahkan untuk membersihkannya, saya yang melakukannya.
Kembali ke tracing covid, tracing ini saya lakukan bersama beberapa guru yang mengajar di kelas X MIPA 2, kelas yang ada siswanya positif covid, serta beberapa siswa. Selain saya, beberapa siswa juga positif hasil swabnya. Mendapati hasil swab seperti ini, pihak sekolah berkoordinasi dengan satgas covid dan menyatakan kalau sekolah selama dua minggu kedepan melaksanakan pembelajaran jarak jauh lagi.
Isoman yang kami lakukan ini bukan berarti masalah berhenti tapi malah bikin masalah baru. Laporan dari walikelas X MIPA 2, bu Putri mengatakan kalau beberapa muridnya yang positif menjadi stres, tertekan karena dibulli teman-temannya. Tentu olok-olok, nyinyiran dan bullian ini sudah batas keterlaluan hingga ada diantaranya yang tidak mau kontak dengan siapapun, termasuk keluarganya hingga beberapa hari. Merasa senasib dan ini menjadi tugas saya untuk meredamnya, minimal pada murid bimbingan saya (9 kelas) maka saya bikin postingan yang saya kirim ke grup WA kelas bimbingan saya. Minimal, mereka tidak ikut membulli atau bahkan berhenti nyinyir. Tak lupa, bu Putri saya beri salinannya, berikut kutipannya :
Assalamualaikum...
Salam sehat sejahtera untuk kita semua
Anakku yang sangat saya sayangi lagi saya banggakan, mencermati fenomena di sekolah dan pembelajaran kembali daring, tentu bukan kemauan kalian semua apalagi kemauan saya
Siapa sih yang ingin sakit? Tentu tidak seorangpun menginginkannya. Sehat, bahagia dan berprestasi, ini harapannya. Ini juga yang menimpa teman kalian, mereka tidak ingin 'positif' mereka ingin sehat dan mencari ilmu sambil bersendau gurau dg temannya. Bila TUHAN berkehendak, siapa yg bisa menolaknya?Â
Sambil mohon maaf, kami juga berharap bisa selekasnya 'negatif' agar kita semua bisa bersua dalam kegiatan belajar mengajar dalam 1 keluarga besar.Â
Tentu, doa dan pengertian yg kami harapkan dari kalian semua. Bukan nyinyiran, caci maki, olok di medsos, itu sungguh menyakitkan kami. Bila kita keluarga besar, bukankah 1 anggota tubuh yg sakit akan terasa sakitnya seluruh tubuh? Dan, kita harus yakin, apa yang kita lakukan akan mendapat balasan dari setiap perbuatan kita.
Selalu semangat anakku, salam sehat bahagia dan sejahtera
Salam hormat saya untuk keluarga tercinta kalian
Entah seberapa efektif postingan saya ini, tapi setidaknya saya sudah tidak menerima laporan tentang bullying ini.
Sempat kaget dengan hasil positif karena saya termasuk tanpa gejala. Isoman hari pertama dan kedua, hanya kedua lutut terasa sakit/linu, hari tiga empat ganti batuk pilek tapi tidak parah. Hari ke lima enam, hanya tenggorokan yang agak sakit. Karena sakitnya biasa dan saya obati dengan obat yang biasa saya minum tatkala sakit seperti ini. Hari ketujuh, muncul pusing, mungkin karena sering terpapar layar HP dan laptop dan saya buat istirahat tapi tetap pusing. Dan ternyata pusing hilang ketika saya minum segelas kopi. Hari ke delapan, badan sudah tidak terasa sakit sedikitpun, nafsu makan makin meningkat.
Setiap hari, selain mengkonsumsi makanan pokok juga minum multivitamin, minum larutan vitamin C dosis tinggi, minuman isotonik, obat penurun panas, berjemur 10 menit sehari (bila tidak mendung) serta konsumsi buah pir, pisang, apel, dan salak. Â Â
Selama isoman ini, lebih tepat disebut self healing. Karena hampir tiap saat hanya berada diatas sajadah, ibadah dan ibadah. Ikhlas menerima Omicron dan memasrahkan kesembuhannya hanya kepada Tuhan.Â
Isoman bukan berarti berhenti mengabdi untuk ibu pertiwi. Â Melayani konseling pribadi dan kelompok masih lanjut. Dengan siber konseling, rata-rata sehari ada enam siswa yang konseling pribadi dan beberapa kali video call bimbingan kelompok. Bahkan menyempatkan diri untuk zoom-zoom-an dengan pengurus MGBK SMA Negeri/Swasta Sidoarjo tentang rencana Expo Campus. Siber konseling selama isoman malah terlayani 24 jam sehari (karena jam tidur berubah total).
Sejak awal hingga akhir isoman, dukungan psikososial amat sangat kita butuhkan untuk memulihkan kondisi fisik dan psikis kita. Segala bentuk perhatian dari orang-orang tercinta disekitar kita (keluarga, orangtua, saudara dan teman) laiknya bahan bakar daya tahan tubuh. Kiriman doa, motivasi, semangat, guyonan via WA, hantaran puding, menu masakan komplet, telor asin, buah-buahan, multivitamin, minuman serta makanan ringan lainnya dari orang-orang terkasih ini sungguh makin memperkuat daya tahan tubuh. Masih diakui sebagai makhluk sosial, bukan dikucilkan, ini yang terpenting. Saling menyemangati kepada anak-anak yang positif lewat wali kelasnya, ini yang saya lakukan. Juga sesama guru/karyawan yang positif juga saling kabar dan memberi dukungan semangat.
Dukungan psikososial yang penuh kasih ini rupanya mempercepat virus Omicron keluar dari tubuh.
Tepat hari ke 15 isoman, Kamis (17/2), saya melakukan tes swasb antigen dan hasilnya negatif. Bersyukur dengan hasil yang makin baik ini berkat dukungan psikososial dari keluarga, orang tua, saudara, teman hingga murid yang terkasih. Banyak hal bisa dipelajari dari isoman ini. Setidaknya, saya bisa menuliskan pengalaman ini untuk Anda pembaca setia Kompasiana.
Salam sehat, bahagia dan sejahtera selalu untuk Anda pembaca setia Kompasiana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H