Mohon tunggu...
Dr. Yupiter Gulo
Dr. Yupiter Gulo Mohon Tunggu... Dosen - Dosen, peneliti, instruktur dan penulis

|Belajar, Mengajar dan Menulis mengantar Pikiran dan Hati selalu Baru dan Segar|

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Mana lebih Penting, Populasi atau Sampel? "Mahasiswa: Sampel!"

27 November 2021   18:31 Diperbarui: 27 November 2021   19:15 709
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Populasi dan Sampel | sumber : nbrii.com

Populasi atau Sampel ?

  • D : Mana yang lebih penting, populasi atau sampel ?
  • M : Lebih penting sampel pak!
  • D : Mungkinkah sampel ada tanpa populasi?
  • M : Tidak mungkin, karena sampel diambil dari populasi pak!
  • D : Kalau begitu, mana yang lebih penting populasi atau sampel?
  • M : Lebih penting populasi bapak!
  • D (+penguji lainnya): Tertawa bersama-sama, hehe..!?

Kutipan dialog di atas merupakan tanya jawab antara seorang dosen (D)  yang sedang mendapat giliran mengajukan pertanyaan kepada seorang mahasiswa (M) yang sedang mempertahkan karya penelitiannya dalam ujian atau sidang skripsi pada tingkat strata-1 atau level sarjana. 

Dialog yang menarik karena sebagai sebuah cerminan kualitas berpikir seorang mahasiswa, tetapi juga sebagai refleksi kualitas proses pembelajaran yang dikelola oleh institusi pendidikan.

Pertama, sang dosen sedang meyakinkan dirinya bahwa mahasiswa memahami betul apa yang ditulis dalam skripsi sebagai hasil karyanya sendiri. Nampaknya D menduga si M tidak memahami dengan tepat antara populasi dan sampel sebagai salah satu aspek kunci sebuah penelitian. 

Kedua, si mahasiswa memiliki percaya diri yang tinggi atas kebenaran karya ilmiahnya kendati ada yang "tidak beres" di bagian populasi dan sampel, tetapi dia cepat faham kesalahan dan berubah. Pertanyaan si D mendorong si  M sadar betul bahwa sampel dibutuhkan yang bersumber dari populasi yang dibangun.

Ketiga, tanya-jawab dalam sidang skripsi yang umumnya berlangsung sekitar dua jam merupakan filter akhir untuk melepaskan seorang mahasiswa menjadi seorang sarjana sesuai kriteria. Oleh karenanya sebuah pertanyaan menjadi pintu momentum bagi si M dan tidak terlupakan ketika si D meluruskan pemahaman si M hingga tuntas. 

Skripsi : Melawan COPAS

Harus diakui ada perbedaan kualitas hasil penelitian mahasiswa zaman now dengan zaman old baik dari sisi proses dan utamanya dari kualitas. Dahulu kala, sebutkan saja sebelum 1990-an mahasiswa sangat sulit mendapatkan sumber referensi yang sangat terbatas dan susah mencarinya. Sementara saat ini, nyaris hampir semua referensi tersedia. Tidak saja mudah mengkasesnya tetapi juga nyaris tanpa biaya alias gratis, kecuali harga kuota internet saja.

Tapi, demikianlah hukum alamnya, segala sesuatu yang mudah dan gampang apalagi gratis, lalu dianggap remeh temeh saja dan bahkan tinggal klik dan copy paste lalu jadilah semuanya. Kalau perlu di copas habis seluruh karya orang lain, dan kalau institusi tidak jeli mefilter, maka jadilah mahasiswa lolos tanpa hambatan.

Copas | sumber : sumut.idntimes.com
Copas | sumber : sumut.idntimes.com

Salah satu musuh terbesar dalam pembuatan skirpsi adalah COPAS, Copy Paste karya orang lain baik pada level rendah maupun pada level dewa yaitu plagiat. Bahwa ada filter dengan software turnitin misalnya, para pelaku pembuat skripsi memiliki taktik mensiasatinya dengan sehingga lolos hingga minim persen.

Sehingga saringan terakhir ada di meja ujian, sidang skripsi yang dikendalikan oleh dosen dosen penguji yang jumlahnya bisa 3 orang atau lebih, termasuk si PS alias Pembimbing Skripsi.

Disinilah sesungguhnya tugas para dosen penguji skripsi menjadi tidak ringan karena harus mampu meyakinkan diri mereka bahwa mahasiswa ini layak jadi sarjana dengan kriteria yang ditetapkan oleh institusinya. Mereka harus memiliki strategi untuk melawan COPAS dan Plagiat si mahasiswa.

Artinya, bila si dosen penguji lengah, karena memang tidak kualifait menguji atau beragam soal lainnya, maka mahasiswa bisa sajha lolos dengan segala kebiasaan COPAS yang ada.

Budaya COPAS ini merupakan indikasi lemahnya kualitas akademik seseorang, karena tidak saja malas membaca tetapi juga malas untuk melakukan kajian, sintesa, verifikasi, dan sebagainya. Ini akan berakhir dengan lemahnya metodologi berpikir, dan dipastikan dilapangan nyata kualiatas si mahaswa ini juga akan terpengaruh negatif.

Membangun Budaya Kualitas Akademik 

Kebijakan Mas Menteri Nadiem Makarim dengan MBKM merupakan terobosan yang komit pada kualitas akademik yang tidak hanya jago di teori tetapi handal di dalam implementasi bahwa menjadi pioner pada kreatitifitas, inovasi dan kemandirin berpikir dan bertindak. 

Kualitas lulusan | sumber : tvpworld.com
Kualitas lulusan | sumber : tvpworld.com

Pesan pentingnya, hanya lulusan yang berkualitaslah yang akan memenangkan persaingan di lapangan kerja DUDI alias Dunia Usaha dan Dunia Industri. Kampus akan berlomba untuk mendorong lulusannya compatibel dengan DUDI itu, sebab aspek ini menjadi salah aspek kunci dalam menilai sebuah institusi pendidikan tinggi itu unggul atau tidak.

Tidak ada jalan pintas, setiap perguruan tinggi harus mampu membangun budaya akademik berbasis kualitas yang kompatibel dengan kebutuhan DUDI. Harus mampu membangun isntrumen yang efektif agar semua Proses Pembelajaran terimplmentasi dalam DUDI, sedemikian rupa sehingga dunia kampus menjadi dinamika yang kencang bagi semua mahasiswa berorientasi DUDI.

Membangun budaya kualitas akademik yang kuat tidaklah mudah, karena butuh waktu yang cukup agar semua pelaku utama dalam institusi harus seia sekata, sepikiran dan sejalan.

Yupiter Gulo, 27 November 2021

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun